Opini, Edarinfo.com – Dalam sistem demokrasi modern, pejabat publik, khususnya anggota legislatif (DPR maupun DPRD), tidak hanya dipandang sebagai pembuat kebijakan. Mereka juga menjadi representasi moral, sosial, dan budaya politik suatu bangsa. Fenomena belakangan ini, mulai dari dinonaktifkan hingga mundurnya anggota DPR-RI karena gaya komunikasi yang dinilai tidak etis, hingga viralnya perilaku anggota DPRD di Gorontalo dan Sumatera Utara, menunjukkan bahwa masyarakat semakin peka dan kritis terhadap perilaku wakil rakyat.

Hal ini sejalan dengan teori representasi politik (Pitkin, 1967) yang menekankan bahwa wakil rakyat tidak hanya mewakili secara formal melalui suara dan kebijakan, tetapi juga secara simbolis melalui perilaku dan citra diri. Dengan demikian, sikap sehari-hari dan cara berkomunikasi anggota dewan turut menentukan sejauh mana masyarakat merasa dihargai, diwakili, dan dilayani.

Sensitivitas Publik di Era Demokrasi Digital

Meningkatnya sensitivitas publik terhadap perilaku pejabat publik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi informasi. Media sosial melahirkan ruang publik baru (Habermas, 1989) yang memungkinkan masyarakat melakukan kontrol sosial secara langsung dan real-time. Setiap tindakan pejabat, baik dalam forum resmi maupun di ruang privat, berpotensi menjadi konsumsi publik dan membentuk persepsi kolektif.

Ada tiga faktor yang memperkuat fenomena ini:

• Transparansi Digital. Kehadiran media sosial membuat hampir tidak ada ruang bagi pejabat untuk “bersembunyi”. Kesalahan kecil dalam komunikasi bisa langsung viral.

• Kesadaran Literasi Politik. Publik semakin kritis dalam menilai etika, retorika, dan gaya komunikasi pejabat. Mereka tidak hanya menilai kinerja berdasarkan kebijakan, tetapi juga perilaku personal.

• Efek Viral dan Opini Publik. Algoritma media sosial membuat isu-isu terkait perilaku pejabat cepat menyebar, menciptakan public shaming yang berpotensi merusak legitimasi kelembagaan.

Krisis Kepercayaan dan Legitimasi Demokrasi

Perilaku tidak etis, gaya komunikasi kasar, atau sikap arogan pejabat publik berpotensi memperburuk defisit kepercayaan (trust deficit) terhadap lembaga legislatif.

Menurut teori social trust (Putnam, 1993), kepercayaan publik merupakan fondasi utama keberlangsungan demokrasi.

Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap wakilnya, legitimasi politik akan melemah dan memicu gejala apatisme, sinisme politik, bahkan delegitimasi institusional. Fenomena ini terlihat dari banyaknya kritik publik di berbagai daerah, di mana perilaku personal anggota dewan kerap lebih disorot ketimbang substansi kebijakan. Dengan kata lain, politik citra dan politik perilaku kini memiliki bobot yang sama pentingnya dengan politik kebijakan.

Revolusi Mental bagi Legislator

Kondisi tersebut menegaskan bahwa revolusi mental di kalangan pejabat publik bukan lagi jargon politik, melainkan kebutuhan mendesak. Transformasi nilai, sikap, dan pola pikir pejabat menjadi syarat agar mereka tetap mendapat legitimasi publik.

Ada tiga dimensi utama revolusi mental yang relevan bagi anggota DPR maupun DPRD:

• Dimensi Etika. Pejabat harus menempatkan diri sebagai teladan moral. Hal-hal sederhana seperti kesantunan berbahasa, pengendalian emosi, dan penghormatan terhadap lawan bicara menjadi indikator integritas.

• Dimensi Komunikasi Politik. Gaya komunikasi harus mencerminkan civility (kesantunan politik). Papacharissi (2004) menekankan pentingnya menjaga martabat publik dalam interaksi politik. Retorika seharusnya membangun, bukan memecah belah; memberi solusi, bukan sekadar provokasi.

• Dimensi Pelayanan Publik. Mindset anggota dewan perlu beralih dari elitisme ke servant leadership. Posisi mereka harus dipahami sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa. Hal ini menuntut adanya empati, keterbukaan, dan partisipasi dalam proses komunikasi politik.

Meningkatnya sensitivitas publik terhadap perilaku wakil rakyat adalah sinyal penting bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia. Era keterbukaan informasi menuntut pejabat publik tidak hanya berkompeten secara teknis, tetapi juga berintegritas secara moral dan komunikatif.

Revolusi mental, perubahan mindset, serta perbaikan gaya komunikasi politik bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Anggota DPR/DPRD harus menyadari bahwa legitimasi mereka sepenuhnya bergantung pada kemampuan untuk menjadi representasi yang beretika, komunikatif, dan berorientasi pada pelayanan. Tanpa perubahan itu, risiko krisis kepercayaan publik akan semakin besar, dan demokrasi representatif akan kehilangan pijakannya.

Penulis, Amul Hikmah Budiman (Direktur Eksekutif Saoraja Institute Indonesia)