Opini, Edarinfo.com– Hari ini saya tidak sengaja mendengar percakapan 3 anak muda. Mereka tengah bercakap-cakap prihal pilihan mereka di Pemilu 2024 tahun ini.

Saya tertarik dengan pilihan salah satu diantara mereka yang memilih untuk golput, saat ditanya mengapa ia memilih untuk golput alasannya karena hal itu bentuk perlawanannya akibat kecewa terhadap para elite saat ini.

Apa yang dirasakan oleh anak muda ini tidak menutup kemungkinan hal itu juga di rasakan oleh anak muda yang lain di beberapa tempat di luar sana. Mereka memilih apatis terhadap politik dan enggan ikut berpartisipasi.

Kesadaran terhadap pentingnya pilihan politik di kalangan anak muda ini harus di sosialisasikan. Sosialisasi ini tentunya bukan hanya sepenuhnya kita limpahkan terhadap KPU, melainkan peserta pemilu (Partai Politik) pun harus mengambil peran di dalamnya.

Sayangnya tontonan panggung politik yang diperankan para elite saat ini masih jauh dari harapan. Mulai dari diloloskannya Gibran (Putra Presiden Jokowi) sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) oleh pamannya sendiri yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman yang dikemudian hari dinyatakan melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Dipilihnya Gibran pun bukan tanpa alasan, ia di pilih dengan harapan bisa meraih suara loyalis Presiden RI, Joko Widodo dan suara anak muda.

Begitupun Gus Imin (Muhaimin Iskandar) dan Prof Mohammad Mahfud MD, mereka dipilih sebagai Cawapres lantaran memperebutkan suara warga Nahdlatul Ulama. Dan memang suara warga NU memang selalu di hitung dalam percaturan politik di Indonesia.

Artinya, penjaringan 3 cawapres ini tidak lagi berdasar pada klasifikasi kualitas figur, akan tetapi lebih mengedepankan kepada figur yang berpotensi bisa menjadi penunjang suara capres.

Akibatnya panggung debat cawapres kemarin tidak menjadi forum untuk mempertajam gagasan dalam melihat arah Indonesia ke depan, akan tetapi lebih pada mempertontonkan drama-drama hiburan.

Inilah yang mungkin membuat anak muda yang saya ceritakan di atas memilih apatis (golput) ketimbang ikut menentukan pilihan politiknya.

Namun, memilih untuk golput juga tidak bisa menjamin hal itu bisa memperbaiki arah bangsa kita ke depan, setidaknya sebagai anak muda dalam menentukan pilihannya di legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD) maupun eksekutif (Presiden dan Wapres, Gubernur, dan Bupati) hendaknya memiliki standarisasi yang tinggi, di mulai dari tidak menjadikan pemberian uang (Politik Uang) sebagai standar pilihannya, melainkan melihat gagasan ataupun rekan jejaknya.

Terakhir, sebagai penutup dari artikel singkat ini saya ingin mengutip pernyataan seorang Filosof asal Jerman, Bertolt Brecht “Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa, biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung pada keputusan politik”.

Penulis, Hamka Pakka