Opini,Edarinfo.com–Peperangan epic di mitologi Yunani adalah simbolisme kekuatan jahat melawan kebaikan, dalam mitologi Yunani dan sejarah orde baru di Indonesia pernah mengalami hal serupa dalam kancah perpolitikan, masa-masa emas kekuasaan yang diruntuhkan oleh tombak kabijaksaan diomedes. Masa runtuhnya dewa perang? dalam mitologi Yunani kita kenal sebagai ares dewa perang yang haus akan darah, kebrutalannya yang membuat dia dibenci namun sangat dihormati oleh spartan, perang adalah kesenangan Ares jika perangnya itu untuk kepentingannya sendiri, ia menjadi lambang keributan dan kekacauan serta senang melihat pembantaian di kota-kota, sehingga Ares menjadi dewa yang tidak disukai dan bangsa Romawi enggan menyembahnya sebab bangsa Romawi sangat benci peperangan karena lebih mementingkan perdamaian. Pada saat perang Troya Ares awalnya berpihak pada Yunani namun Ares digoda Afrodit lalu memihak kepada troya, kemudian pada perang Troya Ares dikalahkan oleh diomedes sang pahlawan Yunani dengan bantuan Athena (kebijaksanaan).

Mitologi Yunani di atas adalah sebuah gambaran pada era reformasi 1998, gambaran Ares adalah karakter pemimpin pada masa orde baru yang diruntuhkan oleh diomedes (mahasiswa) dengan dorongan kebijaksanaan (Athena) dan melahirkan masa renaisans jika dalam sejarah filsafat Barat, kemudian dalam hal ini kita sebut sebagai era reformasi “kebangkitan pikiran.” Perlawanan ini adalah cita-cita luhur yang terilhami, pada saat orde baru ke masa reformasi perubahan konkret terjadi dan sangat esensial dimana masa ini memiliki proyeksi yang sangat mulia, cita-cita sebagai negara bersatu, berdaulat, berdemokrasi, keadilan tanpa mengenal SARA, kemakmuran, mereka yang tidak memiliki kepekaan terhadap perjuangan dan kebersamaan hanya sebagai penghancur bagi manusia.

Warisan reformasi tidak muncul hanya memetik jari layaknya pesulap yang memunculkan kelinci melalui topinya, tetapi masa reformasi adalah masa perlawanan kolektif, bisa kita sebut sebagai masa gerakan kolaborasi bagi mahasiswa, nurani mahasiswa untuk melakukan ijtihad adalah anugerah dari Tuhan dan momentum reformasi sebagai saksi bisu akan perlawanan ide dan gagasan juga tenaga, masa itu masa yang menyedihkan dan juga masa kejayaan bagi perlawanan sebab runtuhnya otoriter-militerisme, melalui surat perintah sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mulai berkuasa dan memperkenalkan sistem politik demokrasi-pancasila yang berpadoman pada UUD 1945, tetapi ini hanyalah konsep besar yang tidak dijalani secara utuh, masih banyak penyelewengan yang ironis sehingga hanya menghasilkan polemik, kegaduhan, dan banyak lagi, masa ini masa seperti Paris menyulik Helene yang termakan oleh kata-kata manis dari Paris yang menyebabkan perang Troya. Sehingga dalam hal ini demokrasi-pancasila itu hanya sebagai ucapan dan tuk dipaparkan saja bukan sebagai aktualisasi pemimpin negara. Iming-iming sebagai negara demokrasi, namun pada akhirnya hanya menjadi ‘demokrasi’ yang membunuh demokrasi itu sendiri, demokrasi adalah hak sebab demokrasi itu fitrah manusia, kebebasan dan kedaulatan atas dirinya, maka ketika hak itu direnggut mahasiswa dan kebijaksanaan akan melawan.

Mahasiswa yang melewati proses penempuhan ada dua jiwa yang melekat pada dirinya yaitu; jiwa militan dan intelektual, adapun jiwa-militan dimaksudkan bahwa mahasiswa diharuskan memiliki kepribadian yang bersemangat tinggi, bergairah melakukan ijtihad kolektif, banyak tokoh-tokoh revolusioner yang bisa kita liat semuanya memiliki jiwa militan yang sangat kuat, diomedes contohnya dia seorang pria biasa-biasa saja tetapi mampu mengalahkan ares si dewa perang yang bengis, tentunya itu semua berkat kegigihan dan semangatnya yang sangat kuat, maka sebagai mahasiswa jiwa militan itu sangat penting dalam membangun peradaban, selanjutnya jiwa-intelektual dimaksudkan mahasiswa seyogyanya memiliki pengetahuan yang lebih bukan hanya bermodalkan semangat juang saja tetapi yang sangat penting adalah rasa ingin tahu kita pada sesuatu, Hermes adalah dewa pengantar pesan yang dilahirkan super cerdas dan memiliki kemampuan interpretasi yang kuat, pesan yang diantarkan Hermes adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah, dikarenakan harus memiliki daya tangkap dan komunikasi yang baik juga memerlukan analisis yang kuat, dalam ilmu pengetahuan kita sebut sebagai Analis Wacana kritis (AWK), kemampuan mengakses secara teks dan lisan, Hermes membawa pesan itu karena kecerdasannya sehingga dipercaya untuk menjadi penyambung lidah bagi dewa dan manusia. Peradaban yang ideal hanya bisa kita wujudkan dengan militansi dan intelektual layaknya diomedes pahlawan Yunani dan Hermes si pembawa pesan. Maka mahasiswa yang lahir dari penempuhan harus memiliki animo eskalasi dalam militansi dan intelektualnya.

Jiwa mahasiswa ini harus didasari pada prinsip gerakan sebagai identitas mahasiswa, Ada dua prinsip yang harus dimiliki mahasiswa yaitu; perbaikan dan pencerdasan, prinsip ini sebagai modal awal dalam menjaga idealisme sebagai penguatan, seperti yang dikatakan Wiji Thukul “kebahagiaan yang dimiliki manusia adalah idealismenya” maka upaya bagi kita semua dalam memantaskan diri sebagai seorang mahasiswa adalah tetap menjaga sebuah prinsip yang kita pegang, adapun prinsip perbaikan itu mengutamakan perubahan pada sistem lebih ideal dan perubahan pada hal-hal konservatif yang tidak sesuai dengan relevansi zaman, kita tidak menolak konservatisme tetapi yang ingin kita pertahankan adalah konservatif-moderat dimana tetap mempertahankan etika dan nilai-nilai pada mahasiswa dalam merawat tradisi ilmiah, menghormati sesama, saling merangkul, merawat gerakan, dll, tentu ini sebagai pengembangan bagi kelompok dan individu. Oleh karenanya, ‘perbaikan hanya didapat jika ada keikhlasan dalam diri kita’ jika dalam bahasa pendidikan Ki hadjar Dewantara yaitu sistem ‘among’ yang menekankan kita sebagai mahasiswa atau pelajar harus memiliki jiwa merdeka, merdeka secara lahir, batin dan tenaganya. Perbaikan adalah perubahan, perubahan hanya didapat melalui jiwa yang merdeka, lanjut prinsip yang terpenting adalah gerakan pencerdasan, bagian awal sudah dijelaskan bahwasanya mahasiswa harus memiliki jiwa-intelektual sebelum melakukan gerakan pencerdasan. Gerakan pencerdasan ini secara fundamental ada pada pendidikan, sebab proses pembentukan moral dan intelektual dimulai dari pendidikan dasar, pada saat kita kecil rasa ingin tahu kita sangat kuat, dulu ketika kita mempertanyakan soal di luar kurikulum nalar kita dibunuh dengan dilarang bertanya jika tidak sesuai dengan kurikulum yang dipelajari, disinilah fase di mana terbunuhnya nalar kritis kita, bahkan ketika kita kecil bisa sampai memikirkan apakah setelah kematian, ada kehidupan? Namun tetapi saat mulai dewasa kita semakin apatis terhadap sesuatu, 15 April 1452 di anchiano Italia lahir si pelukis, filsuf, atau bisa kita sebut sebagai ensiklopedia yang kita kenal dengan nama Leonardo da vinci, kakanda ini seorang yang rasa ingin tahunya sangat luar biasa sebab di umurnya yang sudah lanjut usia masih mempertanyakan sesuatu yang dianggap remeh-temeh untuk dipikirkan, maka dari itu menjadi bahan kontemplasi kita untuk memiliki rasa ingin tahu yang kuat untuk terjun dalam gerakan pencerdasan sebagai sebuah prinsip identitas mahasiswa. Mahasiswa sebagai sejarah idealisme harus menjadi seorang pedagog kritis. ada 3 yang harus kita lakukan dalam menjadi pedagog kritis yaitu; pencerdasan, pemberdayaan, pembebasan. Prinsip identitas pencerdasan ini adalah intelektual organik yang mana mereka tidak hanya menjelaskan kehidupan sosial, tetapi mengaktualisasikan intuisi dan empiris terhadap lingkungan kita.

Genggaman mahasiswa sebagai sebuah eksistensi, tidak lepas dari esensi itu sendiri, seperti yang dikatakan Jean-Paul sartre “eksistensi letaknya sebelum esensi.” Maka mahasiswa sebagai eksistensi hanya ditandai oleh identitasnya yang terdaftar dalam kampus secara sah. Sedangkan esensi mahasiswa ditandai oleh militansi dan intelektualnya dalam melakukan gerakan perbaikan dan pencerdasan.

Penulis : Fahrul

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar