Opini, Edarinfo.com – Industri kecantikan merupakan salah satu sektor yang paling agresif memanfaatkan ekosistem digital. Data menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen konsumen produk kecantikan di Indonesia adalah perempuan, dan mayoritas keputusan pembelian dipengaruhi oleh media sosial, influencer, serta iklan digital berbasis algoritma. Platform seperti Instagram, TikTok, dan marketplace telah menjadi etalase utama industri kosmetik, sekaligus ruang reproduksi standar kecantikan baru yang seragam: kulit putih, mulus, dan instan.

Secara global, pasar kecantikan digital tumbuh pesat seiring menguatnya budaya visual dan praktik self-representation di ruang daring. Di Indonesia, produk perawatan kulit dan kosmetik secara konsisten masuk dalam lima besar kategori penjualan tertinggi di platform e-commerce. Fakta ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan telah menjadi medan ekonomi yang sangat strategis dalam pusaran kapitalisme digital.

Namun, persoalan serius muncul ketika logika keuntungan ditempatkan jauh di atas keselamatan dan martabat manusia. Tekanan sosial terhadap perempuan untuk tampil dengan kulit cerah dan sempurna di ruang digital menciptakan kerentanan baru. Perempuan, terutama dari kelas menengah ke bawah, menjadi sasaran empuk peredaran kosmetik ilegal. Harga murah, iming-iming hasil instan, rendahnya literasi kesehatan kulit, normalisasi risiko melalui testimoni influencer, serta lemahnya pengawasan di platform digital menjadi faktor yang mendorong konsumen terjerumus dalam bayang-bayang bisnis kosmetik ilegal.

Data pengawasan menunjukkan bahwa setiap tahun ribuan item kosmetik ilegal ditemukan beredar di Indonesia. Produk-produk tersebut kerap mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon, dan zat pewarna tekstil. Kandungan ini terbukti dapat menyebabkan kerusakan kulit permanen, gangguan ginjal, gangguan hormon, hingga kanker. Ironisnya, produk-produk berbahaya tersebut justru dipasarkan dengan narasi menyesatkan seperti “aman”, “BPOM menyusul”, atau “dipakai artis dan selebgram”.

Kasus kosmetik ilegal di Sulawesi Selatan pada awal 2025 yang menjerat tiga pemilik usaha besar menjadi bukti nyata bahwa platform digital telah berubah menjadi ruang abu-abu hukum. Di ruang ini, akumulasi kapital bergerak jauh lebih cepat daripada penegakan etika dan perlindungan konsumen. Perempuan tidak lagi diposisikan sekadar sebagai konsumen, melainkan sebagai objek eksploitasi ekonomi, bahkan tubuh dan wajahnya dipertaruhkan demi keuntungan.

Di tengah polarisasi media dan dominasi citra visual, kecantikan tidak lagi dimaknai sebagai ekspresi diri yang autentik. Ia direduksi menjadi komoditas yang diproduksi, dikontrol, dan diperjualbelikan oleh logika pasar digital. Perempuan dipaksa memilih antara tampil cantik secara instan atau tertinggal secara sosial, sementara risiko kesehatan sepenuhnya dibebankan kepada individu.

Fenomena kosmetik ilegal ini memperlihatkan krisis nilai yang serius dalam ekonomi digital. Kecantikan direduksi menjadi tampilan visual semata, terlepas dari nilai keselamatan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Inilah wujud kemiskinan nilai yang paling nyata: istana para pemilik modal berdiri megah, sementara tubuh perempuan dijadikan ladang eksperimen berbahaya.

Dalam perspektif Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), praktik semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Tubuh perempuan bukanlah alat akumulasi kapital, melainkan amanah yang harus dijaga martabat dan keselamatannya. Ekonomi digital yang tidak berpijak pada etika hanya akan melahirkan generasi yang tampak cantik secara fisik, namun hidup dalam kerentanan struktural dan ketidakadilan simbolik.

Kasus ini seharusnya menjadi pukulan telak bagi dunia digital yang kerap dipersepsikan sebagai ruang bebas nilai. Ke depan, digitalisme harus disertai sistem keamanan dan pengawasan yang memadai agar tidak berubah menjadi karpet merah bagi para pemilik usaha yang abai terhadap keselamatan publik. Kita tidak ingin membentuk generasi yang indah rupanya, tetapi rapuh etika dan kepribadiannya.

Ketika kecantikan perempuan diperdagangkan tanpa etika dalam ruang polarisasi digital, yang runtuh bukan hanya kesehatan individu, melainkan juga fondasi moral ekonomi modern itu sendiri.

Untuk perempuan Indonesia: mari bersama mengecam dan melawan peredaran kosmetik ilegal.

 

Penulis, Susi Susanti (Ketua Bidang PSDO Kohati Badko Sulsel | Peserta LK III HMI Badko Jatim)