Makassar, Edarinfo.com – Empat bulan sejak laporan kekerasan seksual yang diajukan oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Bawaslu Kabupaten Wajo, Polres Wajo hingga kini belum menetapkan tersangka. Padahal, terlapor disebut telah mengakui perbuatannya di hadapan penyidik.

Kasus ini dilaporkan korban ke Polres Wajo pada 13 Juni 2025. Korban yang merupakan bawahan langsung dari terlapor telah memberikan keterangan secara utuh dan konsisten kepada penyidik. Ia juga menyerahkan sejumlah bukti, termasuk percakapan digital antara dirinya dan pelaku, surat tugas perjalanan dinas yang menunjukkan keterlibatan keduanya, serta hasil pemeriksaan psikologis dan psikiatris.

Hasil pemeriksaan medis di RSUD Lamaddukelleng menyebutkan bahwa korban mengalami F32.3, Depresi Berat dengan Gejala Psikotik (Severe Depressive Episode with Psychotic Symptoms) akibat trauma mendalam dari kekerasan seksual yang dialaminya secara berulang di tempat kerja.

Namun, dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) tertanggal 13 Oktober 2025, Polres Wajo menyatakan hasil penyelidikan sementara “belum memenuhi syarat alat bukti yang cukup” sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Pernyataan tersebut dinilai menunjukkan lemahnya pemahaman penyidik terhadap karakteristik pembuktian perkara kekerasan seksual. Paradigma hukum yang digunakan dinilai masih terjebak pada cara pandang lama, seolah kekerasan seksual hanya dapat dibuktikan dengan adanya saksi mata atau luka fisik.

Koordinator Bidang Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar sekaligus pendamping korban, Ambara, menegaskan bahwa alasan “belum cukup bukti” bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah secara tegas memperluas alat bukti sah. Pasal 24 dan 25 UU TPKS mengakui keterangan korban, keterangan ahli psikolog atau psikiater, serta bukti digital sebagai dasar hukum yang kuat dalam pembuktian perkara kekerasan seksual. Dengan demikian, alasan ‘belum cukup bukti’ dalam kasus ini tidak hanya tidak berdasar, tetapi juga bertentangan dengan UU TPKS,” tegas Ambara melalu awak media kami, Jum’at, (17/10/25).

Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan dokumen resmi dan hasil pemeriksaan, terlapor telah mengakui perbuatannya di hadapan penyidik. Namun hingga saat ini, Polres Wajo belum menunjukkan langkah konkret untuk menetapkannya sebagai tersangka.

Menurut Ambara, lambannya proses hukum ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, terutama ketika pelaku memiliki jabatan publik dan posisi kuasa atas korban.

“Penundaan penetapan Tersangka dalam kasus ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk reviktimisasi, di mana korban kembali disakiti, kali ini bukan oleh pelaku, tetapi oleh sistem hukum yang seharusnya menjadi pelindung. Proses hukum yang tidak sensitif dan berbelit justru memperkuat pesan berbahaya. Bahwa keberanian perempuan untuk melapor bisa berujung pada penderitaan yang lebih panjang,” tambahnya.

LBH Makassar mendesak Polres Wajo untuk segera bertindak tegas dan profesional dengan:

  1. Menetapkan terlapor sebagai tersangka, karena seluruh unsur pembuktian dalam Pasal 6 huruf a dan c juncto Pasal 15 huruf d dan e UU TPKS telah terpenuhi, termasuk adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban serta pengulangan perbuatan lebih dari satu kali;
  2. Menghentikan praktik pemerasan dengan dalih “belum cukup bukti”, yang bertentangan dengan semangat UU TPKS dan prinsip perlindungan korban;
  3. Menjamin perlindungan dan pendampingan psikologis bagi korban selama proses hukum berjalan.

LBH menilai, keterlambatan penetapan tersangka bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral dan institusional Polri dalam menegakkan keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual.

“Korban telah melakukan bagiannya, ia bersuara, melapor, menyerahkan bukti, dan menghadapi trauma yang dalam. Kini giliran negara, melalui Polres Wajo, untuk menunjukkan keberpihakan nyata. Keadilan tidak bisa terus ditunda atas nama prosedur. Karena di balik setiap prosedur yang tertunda, ada satu perempuan yang terus menunggu, dalam luka yang belum sembuh,” tutup Ambara.