Makassar, Edarinfo.com – Suasana harap dan cemas menyelimuti warga Tello Baru, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, setelah lahan yang mereka kelola secara turun-temurun diduga diserobot dan dirusak dalam proyek pembangunan jalan dan tanggul inspeksi Sungai Tello.

Pada Hari Rabu, (17/12/2025), Warga secara resmi melaporkan pihak kontraktor, PT Yosiken Inti Perkasa, ke Polda Sulsel. Laporan tersebut berangkat dari peristiwa pada 6 Desember 2025, ketika ratusan tanaman di atas lahan milik keluarga almarhum Barakka Bin Pato di Kelurahan Panaikang diratakan menggunakan alat berat.

Lahan seluas kurang lebih 10,65 meter persegi itu sebelumnya dimanfaatkan warga sebagai kebun, dengan tanaman nipah, kelapa, dan pisang untuk kebutuhan sehari-hari. Salah satu ahli waris, Asse (61), menuturkan bahwa pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan maupun musyawarah terlebih dahulu.

Ia mengaku telah berupaya menghentikan alat berat yang beroperasi, namun tidak mendapat respons. “Saya tidak pernah dipanggil atau diajak bicara soal ganti rugi. Tiba-tiba tanaman kami dibabat,” ujarnya lirih.

Upaya keberatan juga dilakukan keluarga dengan memasang papan peringatan di lokasi. Namun, menurut Asse, pada 11 Desember 2025 alat berat tetap memaksa masuk, merusak pagar, dan menimbun lahan. Bahkan, warga mengaku mengalami intimidasi verbal dari pekerja di lapangan dan aparat keamanan.

Lahan yang terdampak merupakan bagian dari total 44 are milik keluarga Barakka Bin Pato yang telah dikuasai jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagian lahan telah dialihkan dan kini berdiri SMKS Mastar Makassar, sementara sisanya masih dihuni dan dikelola para ahli waris.

‎Proyek jalan dan tanggul inspeksi Sungai Tello ini diketahui merupakan proyek milik Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang (DSDA CKTR) Provinsi Sulawesi Selatan dengan nilai anggaran sekitar Rp16,8 miliar dari APBD. Namun, pengerjaan konstruksi disebut telah berjalan meski proses pembebasan lahan belum tuntas.

‎Kuasa hukum Warga dari LBH Makassar, Mirayati Amin, menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam proyek tersebut. Ia menyebut tidak adanya uji publik, sosialisasi, maupun musyawarah dengan warga terdampak sejak awal pelaksanaan proyek. “Proses pengadaan tanah tidak dilakukan secara clean and clear,” ujarnya.

Mirayati juga menyoroti kehadiran aparat keamanan di lokasi pada saat pembongkaran tanaman, yang menurutnya berpotensi menimbulkan tekanan psikologis bagi warga. Ia menegaskan laporan yang diajukan telah dilengkapi bukti dan saksi, serta berharap kasus ini mendapat perhatian publik mengingat proyek menggunakan anggaran daerah yang besar.

‎Kini, warga berharap laporan tersebut dapat diproses secara adil agar aktivitas di atas lahan mereka dihentikan sementara hingga ada penyelesaian yang transparan dan berkeadilan. “Kami hanya ingin hak kami dihormati,” ujar Asse, menutup ceritanya dengan mata berkaca-kaca.