“Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan mereka kecuali orang yang hina.”

(HR. Ibnu Asakir dari Anas bin Malik)

***

Opini, Edarinfo.com – Hadis di atas menjadi pengantar materi dari Ustadz A.M. Safwan dalam kegiatan Dialog dan Bedah Buku “Islam dan Kosmologi Perempuan” yang beliau tulis sendiri. Hadis ini pula yang menginspirasi saya menulis refleksi sederhana ini, sebuah upaya kecil yang saya sadari masih jauh dari nilai-nilai kesempurnaan.

Sabda Nabi Muhammad SAW tersebut bukan sekadar nasihat moral, melainkan cermin nilai kemanusiaan tertinggi. Di balik kalimat yang singkat itu, tersimpan pesan besar tentang bagaimana peradaban dinilai dari cara manusia memperlakukan perempuan. Dalam pandangan Islam, kemuliaan seseorang tidak diukur dari harta, jabatan, atau kedudukan, tetapi dari sejauh mana ia menjaga kehormatan dan memuliakan perempuan, baik sebagai ibu, istri, saudari, maupun bagian dari masyarakat.

Namun, di tengah kemajuan zaman, penghormatan terhadap perempuan kerap tereduksi. Banyak perempuan masih menjadi objek eksploitasi, simbol komoditas, bahkan korban kekerasan fisik maupun verbal. Ironisnya, semua itu terjadi di tengah masyarakat yang mengaku modern. Di sisi lain, sebagian perempuan kehilangan kesadaran akan nilai dan jati dirinya sendiri, larut dalam arus gaya hidup yang justru mengikis kepekaan batin serta keanggunan jiwa yang menjadi sumber kekuatannya.

Peradaban dan Perempuan

Setiap peradaban besar lahir dari rahim perempuan. Dari kelembutan merekalah tumbuh kasih pertama; dari keteguhan merekalah lahir generasi yang tangguh. Perempuan bukan sekadar penjaga rumah tangga, tetapi rumah cinta bagi peradaban. Jika perempuan kehilangan kualitas jiwanya, rapuhlah fondasi peradaban itu sendiri.

Sejarah Islam membuktikan hal ini. Generasi sahabat yang agung tidak lahir begitu saja, tetapi dibentuk oleh sentuhan perempuan-perempuan luar biasa, Khadijah binti Khuwailid yang menopang risalah kenabian sejak awal, atau Fatimah Az-Zahra yang menjadi teladan hikmah dan kesucian. Mereka bukan pelengkap kisah, melainkan penentu arah sejarah. Karena itu, ketika Rasulullah bersabda “Tidak memuliakan perempuan kecuali orang mulia”, beliau sejatinya sedang membangun fondasi sosial: bahwa kemuliaan umat ditentukan oleh cara mereka memuliakan perempuan.

Ketika Jiwa Perempuan Tidak Diasah

Namun, ada kegelisahan yang patut kita renungkan. Banyak perempuan kini terjebak dalam dilema antara keinginan untuk dihargai dan kehilangan arah dalam memuliakan dirinya sendiri. Mereka berusaha mempercantik tampilan luar, namun melupakan keindahan batin yang jauh lebih abadi, kecerdasan, kebijaksanaan, kesabaran, dan kelembutan. Padahal, di sanalah letak kemuliaan sejati seorang perempuan.

Jiwa perempuan yang tak diasah akan kehilangan cahaya keibuannya. Ia tak lagi mampu menjadi rumah cinta bagi kehidupan. Dan ketika perempuan berhenti mengasah jiwanya, dunia pun kehilangan keseimbangannya: rumah tangga menjadi kering dari kasih, masyarakat kehilangan empati, dan peradaban kehilangan ruh. Karena itu, memuliakan perempuan bukan hanya tugas laki-laki, melainkan tanggung jawab perempuan terhadap dirinya sendiri, untuk terus bertumbuh, belajar, dan menjaga martabat batinnya.

Menjadi Rumah Bagi Kehidupan

Perempuan sejati adalah rumah bagi kehidupan. Dari pelukannya lahir kekuatan, dari tutur lembutnya tumbuh harapan. Ia bukan pelengkap, tetapi penentu arah moral masyarakat. Ketika perempuan dimuliakan, lahirlah generasi yang mencintai kehidupan; tetapi ketika perempuan dihinakan, rusaklah sendi-sendi peradaban.

Memuliakan perempuan tidak berarti menempatkan mereka di atas laki-laki, melainkan menempatkan keduanya dalam keseimbangan hakikat kemanusiaan. Sebab sebagaimana laki-laki memikul tanggung jawab kepemimpinan, perempuan memikul tanggung jawab menjaga kehidupan.

Hadis Nabi ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa kemuliaan sejati seseorang, bahkan suatu bangsa diukur dari sejauh mana ia memuliakan perempuan dan membantu mereka tumbuh dengan martabat. Sebab, peradaban yang mulia selalu lahir dari rahim yang dimuliakan.

 

Penulis, Hamka Pakka (Jurnalis)

***