Opini, Edarinfo.com– Harvey Mois divonis pidana penjara selama 6,5 tahun terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah. Tidak lama setelah berita itu tersebar, muncul cuitan dari seorang netizen: “Beri kami 300 triliun dan kami siap dipenjara selama 6 tahun.” Terdengar sederhana, tapi nyelekit. Rasanya, cuitan itu mewakili banyak suara di kepala orang-orang yang bertanya-tanya, “Ini hukuman atau kesepakatan?”
Korupsi, apalagi yang nilainya sampai ratusan triliun, itu bukan kejahatan biasa. Itu adalah kejahatan luar biasa yang efeknya bisa dirasakan bertahun-tahun. Coba bayangkan, uang sebanyak itu seharusnya bisa dipakai untuk bangun sekolah, rumah sakit, atau jalan di desa-desa terpencil. Bisa untuk bantu petani, perbaiki kualitas pendidikan, atau minimal memperbaiki jalan berlubang yang sering bikin kecelakaan. Tapi apa yang terjadi? Uang itu masuk ke kantong segelintir orang yang hidup mewah di atas penderitaan banyak orang.
Coba, kita lihat vonisnya: 6,5 tahun penjara. kalau dihitung-hitung, setahun penjara “hanya dihargai” sekitar 46 triliun. Bayangkan betapa kecilnya angka itu dibandingkan dampak yang harus ditanggung masyarakat. Tidak heran jika para pejabat kita masih berani untuk korupsi, gimana tidak, hukum di negeri ini masih setengah hati untuk menghukum koruptor.
Masalahnya bukan hanya soal lamanya hukuman. Ada banyak hal lain yang membuat publik geram. Misalnya, para koruptor sering mendapat fasilitas di penjara, dari kamar yang lebih layak hingga kemudahan izin keluar masuk dengan alasan kesehatan. Belum lagi soal remisi yang diberikan dengan murah hati, hingga akhirnya hukuman yang sudah ringan itu menjadi semakin singkat. Jadi, wajar saja kalau banyak orang berpikir, “Enak banget, ya, jadi koruptor di sini. Bisa jadi jalan pintas untuk bisa cepat kaya raya”
Saya yakin, semua orang tahu kalau korupsi itu adalah kejahatan yang menghancurkan banyak hal. Bukan cuma uang negara, tapi juga harapan orang-orang yang bergantung pada kebijakan pemerintah. Ketika uang yang seharusnya digunakan untuk rakyat malah dicuri, yang terjadi adalah stagnasi pembangunan, angka kemiskinan yang terus tinggi, dan generasi muda yang kehilangan akses untuk masa depan lebih baik.
Jadi, hukuman seperti apa yang seharusnya diberikan kepada koruptor? Saya teringat dengan gagasan Anies Baswedan saat debat pilpres yang lalu. Menurutnya, memiskinkan para koruptor hukuman yang bisa memberikan efek jerah bagi mereka. Kalau dipikir-pikir, bisa juga hukuman itu yang diberikan.
Jika dibayangin, orang yang awalnya hidup mewah karena hasil korupsi tiba-tiba harus kehilangan semuanya. Rumah, mobil, rekening bank, semuanya diambil. Mereka nggak cuma kehilangan uang, tapi juga gaya hidup yang selama ini bikin mereka nyaman. mungkin itu lebih bikin jera daripada sekadar dipenjara beberapa tahun, terus bebas dan bisa menikmati hasil korupsinya lagi. Iya nggak?
Selain memberikan sanksi, ada hal yang lebih penting dari itu, upaya pencegahan, dimulai dari membangun kesadaran di masyarakat tentang betapa bahayanya korupsi. Jangan biarkan korupsi dianggap sesuatu yang biasa atau sudah budaya. Edukasi tentang integritas harus dimulai sejak dini, dari sekolah, keluarga, hingga lingkungan kerja.
Kasus Harvey Mois ini seharusnya menjadi pengingat keras buat kita semua bahwa perjuangan melawan korupsi masih jauh dari kata selesai. Jangan sampai kita terus-terusan terjebak dalam lingkaran yang sama, korupsi besar-besaran, hukuman ringan, lalu korupsi lagi. Pada akhirnya, ini bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi juga soal menjaga masa depan bangsa dari kerusakan yang lebih besar.
Karena, yang paling menyakitkan dari korupsi bukan hanya uang yang hilang, tapi kepercayaan yang dirampas. Dan kepercayaan, seperti yang kita tahu, adalah hal yang sangat sulit untuk dipulihkan. Kalau dipikir-pikir, benar juga ya ciutan itu, nggak masalah dipenjara selama 6 tahun asalkan dapat uang 300 triliun.
Penulis, Hamka Pakka
Editor: Salsabila Indri Fitria