Opini, Edarinfo.com—“Kebangkitan perempuan adalah kebangkitan seluruh umat.”

Perempuan dalam pandangan Islam bukan sekadar individu yang mengisi ruang sosial, tetapi mereka adalah tiang peradaban. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari, “Perempuan adalah guru bagi umat manusia. Jika perempuan tumbuh dalam kesadaran, maka seluruh umat akan tumbuh dalam kemuliaan.” Kutipan ini menegaskan betapa pentingnya perempuan dalam membentuk generasi yang bermartabat.

Apakah Perempuan Perlu Diberdayakan?

Dalam diskursus modern tentang perempuan, istilah “pemberdayaan perempuan” seringkali menjadi narasi utama. Namun, jika direnungkan lebih dalam, apakah perempuan benar-benar perlu “diberdayakan”? Pandangan ini seolah-olah menyiratkan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang harus dibantu untuk menjadi kuat, padahal perempuan memiliki potensi luar biasa yang inheren dalam dirinya.

Persoalan utama perempuan bukanlah pada “pemberdayaan,” tetapi pada kesadaran. Perempuan perlu sadar akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah, sadar akan hak dan tanggung jawabnya, serta sadar akan peran unik yang dimilikinya, yang mana hanya dia yang bisa jalankan. Kesadaran inilah yang menjadi kunci perubahan, baik dalam dirinya maupun masyarakat secara keseluruhan.

Dalam konteks modern, pemberdayaan sering diterjemahkan ke dalam upaya-upaya ekonomi, pendidikan, dan politik. Hal ini tentu penting, tetapi tanpa landasan kesadaran spiritual dan identitas, pemberdayaan ini bisa kehilangan arah. Perempuan yang hanya diberdayakan dalam arti materialistik, tetapi kehilangan kesadaran akan tujuan mulia hidupnya, justru berpotensi membawa dampak negatif bagi dirinya dan masyarakat.

Teladan Perempuan dalam Sejarah Islam

Sejarah mencatat bahwa Islam hadir untuk memuliakan perempuan yang sebelumnya terpinggirkan. Sebagai contoh, Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan mandiri dan berpengaruh yang mendukung penuh perjuangan Rasulullah. Sayyidah Fatimah Azzahra, cahaya mata Rasulullah, adalah simbol kesempurnaan seorang perempuan sebagai istri, ibu, dan individu di masyarakat. Mereka adalah bukti nyata bagaimana perempuan bisa memainkan peran besar tanpa kehilangan identitasnya.

Khadijah, seorang pengusaha sukses, menunjukkan bahwa peran perempuan tidak terbatas pada ruang domestik. Ia mendukung perjuangan Rasulullah dengan harta, jiwa, dan cintanya. Sementara itu, Fatimah adalah contoh teladan dalam memadukan peran domestik dan sosial secara harmonis. Mereka membuktikan bahwa perempuan tidak perlu bersaing dengan laki-laki, melainkan menjalankan perannya dengan kesadaran penuh.

Konsep Kesadaran Perempuan

Dalam Islam, tidak ada konsep persaingan antar-gender, melainkan kerja sama yang harmonis. Seorang perempuan yang sadar akan hakikat dirinya tidak akan merasa perlu membandingkan diri dengan laki-laki karena ia tahu bahwa kehormatannya tidak bergantung pada persamaan, melainkan pada keadilan yang ditegakkan oleh syariat.

Kesadaran perempuan mencakup beberapa aspek penting:

  • Kesadaran spiritual: Mengenali hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang dimuliakan.
  • Kesadaran intelektual: Memahami hak dan tanggung jawabnya dalam keluarga dan masyarakat.
  • Kesadaran sosial: Mengambil peran aktif dalam menciptakan perubahan positif tanpa kehilangan identitas keislaman.

Perempuan yang sadar adalah perempuan yang kuat, dan perempuan yang kuat adalah pilar utama bagi terwujudnya masyarakat yang adil, damai, dan beradab.

Ibu sebagai Pendidik Umat dan Pondasi Peradaban

Dalam peradaban manusia, peran ibu sering kali hanya dipandang sebatas lingkup domestik. Namun, jika kita kembali kepada nilai-nilai Islam yang luhur, ibu bukan sekadar pengasuh atau pelengkap dalam keluarga. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ia adalah sosok yang menentukan arah generasi berikutnya dan, pada akhirnya, umat manusia secara keseluruhan.

Peran ini bukanlah peran yang ringan. Ia adalah tanggung jawab besar yang melibatkan pendidikan spiritual, emosional, dan intelektual. Murtadha Muthahhari menyatakan bahwa perempuan, khususnya seorang ibu, memiliki kontribusi yang tak tergantikan dalam membangun masyarakat. Baginya, ibu adalah arsitek masa depan. Setiap nilai yang ia tanamkan di hati anak-anaknya akan menjadi pilar utama tegaknya peradaban.

Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa banyak perempuan tidak menyadari kebesaran peran ini. Ada kecenderungan untuk melihat tugas keibuan sebagai tugas yang “kurang signifikan” dibandingkan dengan peran profesional di luar rumah. Padahal, mendidik seorang anak dengan nilai-nilai luhur adalah tugas yang jauh lebih kompleks daripada sekadar memenuhi ekspektasi pasar kerja.

Jadi, pemberdayaan perempuan dalam Islam bukan tentang menyaingi laki-laki, tetapi menyadari dan menghidupkan potensi agung yang telah dianugerahkan oleh Allah. Menjadi ibu yang sadar akan perannya adalah salah satu bentuk pemberdayaan tertinggi. Sebab, melalui tangan seorang ibu, umat yang kuat, beriman, dan beradab dapat tercipta.

Maka, alih-alih terus berbicara tentang “memberdayakan perempuan,” kita harus lebih fokus pada membangun kesadaran perempuan. Setiap perempuan adalah harapan bagi kebangkitan umat, dan kebangkitan perempuan dimulai dari kesadaran akan kemuliaan dirinya. Dengan kesadaran ini, perempuan tidak hanya menjadi pilar keluarga, tetapi juga penggerak utama dalam membangun peradaban yang lebih mulia.

 

Penulis: Nurul Asia

Editor: Hamka Pakka