Opini, Edarinfo.com– Pemahaman serta hakekat hukum seharusnya mendorong potensi kesadaran manusia, menjadikan masyarakat lebih sadar dan cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Dalam perspektif peradaban Islam, hukum juga mencerminkan nilai-nilai masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip keadilan. Pada dasarnya, hukum hadir untuk menjaga kedamaian di tengah masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, “hukum hadir untuk manusia.” Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang mengurangi, mengkerdilkan, atau tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat ditoleransi.
Baru-baru ini, publik digemparkan oleh berita yang mengungkap adanya dugaan tindak pidana di lingkungan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM). Sebuah laporan menyebutkan bahwa ada ‘oknum pekerja, tenaga pendidik, hingga petinggi kampus’ yang diduga terlibat dalam kejahatan memproduksi uang palsu di perpustakaan kampus. Perilaku ini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan melibatkan banyak pihak. Ironisnya, tindakan ini berlangsung di ruang-ruang ilmiah yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya ide dan gagasan intelektual untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berbagai desas-desus menyebut bahwa uang palsu tersebut diedarkan dalam momen-momen tertentu dan diduga sudah lama beroperasi. Jika benar, tindakan ini tidak hanya mencoreng citra kampus, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kampus yang seharusnya menjadi simbol intelektualitas kini justru menjadi momok memalukan.
Krisis Moral dan Hukum di UINAM
UIN Alauddin Makassar merupakan institusi yang dihuni oleh civitas akademika dengan beragam profesi, termasuk mahasiswa, tenaga pendidik, dan tokoh-tokoh hukum yang berperan dalam mendialogkan dan menanamkan nilai-nilai hukum. Namun, viralnya berbagai masalah yang melibatkan kampus ini telah menjadi sorotan nasional. Selain kasus uang palsu, UINAM juga dihadapkan pada isu-isu lain seperti dugaan tindak pidana korupsi, pembatasan hak mahasiswa melalui surat edaran yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, serta tindakan represif terhadap mahasiswa seperti skorsing, pemberhentian (drop out), hingga kekerasan aparat kampus.
Lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak pro-demokrasi dan kontra-mahasiswa memperburuk situasi. Kampus yang seharusnya menjadi pusat peradaban dan keilmuan kini terkesan membiarkan praktik-praktik yang merugikan mahasiswa dan masyarakat. Bahkan, kampus tampak larut dalam tradisi komersialisasi pendidikan yang jauh dari cita-cita luhur pendidikan itu sendiri.
Penegakan Hukum dan Harapan Perbaikan
Penegakan hukum di lingkungan pendidikan adalah hal yang mutlak. Hukum harus ditegakkan untuk memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan sebagaimana mestinya. Adagium Latin mengatakan, dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur, hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. Oleh karena itu, pihak-pihak yang berwenang harus serius menangani masalah ini dan memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
Kejahatan di lingkungan pendidikan bukanlah hal baru, tetapi sangat disayangkan jika kampus-kampus yang memiliki jargon peradaban justru terjebak dalam praktik-praktik yang jauh dari kodratnya. Tindakan-tindakan tidak terhormat ini hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat luas menanggung kerugiannya. Para pejabat kampus seharusnya memahami bahwa citra pendidikan bukan sekadar validasi administratif atau seremonial belaka, melainkan tanggung jawab moral untuk menjaga integritas lembaga pendidikan.
Penulis mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk berdiskusi, mengawal, dan menyuarakan kebenaran demi menyelamatkan kampus dari krisis ini. Ekspresi kekecewaan harus diwujudkan dalam bentuk karya, kritik, dan aksi yang solutif. Sebagaimana pesan Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI): “Jika kau kecewa pada sesuatu, sampaikan dengan karya.”
Kampus harus dikembalikan pada jati dirinya sebagai pusat peradaban yang menjunjung tinggi nilai keilmuan, moralitas, dan hukum. Save Kampus Peradaban!
Penulis, Iwan Mazkrib (Seniman Hukum, Ketua Bidang Hukum dan HAM Badko HMI Sulawesi Selatan dan Barat)
Editor: Hamka Pakka