Opini, Edarinfo.com – Konflik internal di Suriah yang meletus pada 2011, melibatkan pemerintah Bashar al-Assad dan berbagai kelompok oposisi, termasuk ISIS. Konflik ini tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik Timur Tengah. Sebelum krisis ini, Bashar al-Assad dikenal sebagai pemimpin yang berkomitmen mendukung perjuangan Palestina. Dalam pidatonya pada 2006, Assad menegaskan bahwa Suriah akan menjadi jalur utama penghubung logistik dan senjata untuk Palestina dalam melawan penjajahan Zionis Israel. Dukungan ini dijalankan melalui kerja sama strategis dengan Iran, Rusia, dan Hizbullah di Lebanon. Suriah menjadi poros utama jalur suplai ini.
Namun, setelah pernyataan tersebut, konflik internal pecah, dengan keterlibatan ISIS sebagai salah satu aktor utama melawan pemerintah Assad. Menurut sejumlah analisis, ISIS diduga menjadi alat yang dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal, khususnya Amerika Serikat, untuk melemahkan Assad. Meski ini masih menjadi perdebatan, fakta menunjukkan bahwa kehadiran ISIS berhasil memecah belah Suriah, menciptakan kekacauan yang menguntungkan kepentingan geopolitik tertentu.
Mengapa Pemerintahan Assad Dijadikan Target?
Upaya menggulingkan pemerintahan Assad dapat dilihat sebagai bagian dari strategi melemahkan poros perlawanan yang terdiri dari Iran, Suriah, dan Hizbullah. Poros ini, dengan dukungan Rusia, menjadi ancaman signifikan bagi Israel, terutama karena perannya dalam mendukung perlawanan di Gaza. Bantuan logistik dan senjata yang mengalir ke Hamas melalui jalur ini memungkinkan kelompok perlawanan Palestina bertahan menghadapi dominasi militer Israel yang jauh lebih maju secara teknologi.
Israel, yang hingga kini belum berhasil memenuhi tujuan militernya di Gaza, memahami pentingnya melemahkan jalur suplai tersebut. Hal ini terlihat dari keputusan Israel mengganti kepala militernya, Yoav Gallant, menyusul kegagalannya dalam mengamankan kemenangan strategis di Gaza. Jika Suriah berhasil dikuasai, Israel dan sekutunya memiliki peluang besar untuk menghentikan aliran bantuan ke Gaza, yang pada akhirnya akan melemahkan Hamas dan kelompok perlawanan lainnya.
Kompleksitas Konflik Internal di Suriah
Konflik Suriah melibatkan berbagai aktor dengan beragam kepentingan. Di satu sisi, pemerintahan Assad berjuang mempertahankan kekuasaan dengan dukungan Iran dan Rusia. Di sisi lain, kelompok oposisi, dari moderat hingga ekstremis seperti ISIS, memiliki agenda yang kerap bertentangan. Keterlibatan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat, Israel, dan negara-negara Teluk semakin memperumit situasi, dengan masing-masing pihak memanfaatkan konflik untuk kepentingan geopolitik mereka.
Perang internal Suriah bukan sekadar persoalan domestik, melainkan bagian dari perebutan kekuasaan geopolitik di Timur Tengah. Dukungan Suriah terhadap Palestina menjadi salah satu alasan utama pemerintah Assad menjadi target destabilisasi. Dengan menguasai Suriah, akses bantuan logistik dan senjata ke Gaza dapat dihentikan, sehingga melemahkan perjuangan rakyat Palestina.
Namun, untuk memahami konflik ini secara menyeluruh, penting untuk melihatnya dari berbagai perspektif: dinamika internal Suriah, peran aktor eksternal, dan dampaknya terhadap perjuangan Palestina. Diperlukan analisis berbasis bukti untuk memberikan gambaran komprehensif tentang hubungan antara konflik Suriah dan krisis Palestina.
Penulis: Ahmad Aswar Alimuddi (Ketua Sidrap Cinta Palestina)
Edito: Hamka Pakka