Opini,Edarinfo.com–Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin. Artinya : ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah kepunyaan Allah.
Lafadz Allah di atas ialah salah satu yang selalu di bumi ketika ada amanah dan tanggung
jawab yang diberikan. Ikrar sebagai janji yang sungguh-sungguh itu bernilai sakral oleh sebab janji pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Berikrar berarti berjanji dengan sepenuh hati untuk melaksanakan dan memegang teguh tentang apa yang telah diikrarkan. Apalagi ikrar atas nama Allah dan disumpah di atas al-Qur’an al-Karim adalah hal yang mesti benar-benar kita sadari dan dipastikan terdahulu berangkat dari hati nurani.
“Kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun..” ialah sebagian ikrar sumpah penkaderan agar para instruktur dapat “standby” dan totalitas mewakafkan diri untuk kepentingan umat. Instruktur yang telah disumpah kemudian ditempa oleh pembuktian-pembuktian dan pengabdiannya di himpunan.
“Pantang menolak tugas, pantang tugas tak tuntas”, ialah cerminan sosok profil ideal dalam seorang instruktur. Sekalipun kita dalam keadaan yang begitu sulit, situasi yang rumit, ataupun keuangan yang tengah pelik, sumpah perkaderan nyatanya tak mengenal alasan demikian. Anehnya, bagaimanapun keadaan seorang instruktur yang demikian, ia akan selalu berusaha hadir dalam ruang-ruang perkaderan. Bilamana keadaan memaksa untuk menghalangi jalan, sungguh keresahan dalam dirinya akan meliputi fikiran dan perasaan. Sebab kesadaran dan hati nuraninya menggerakan dirinya manakala dipanggil atau terpanggil melayani umat di himpunan.
Tentunya setiap instruktur memiliki tantangan perjuangan yang berbeda-beda, sehingga
menjadi naif manakala ada seorang instruktur yang merasa ‘paling berjuang’ diantara lainnya. Misalkan, diantara intruktur itu ada yang pergi ke medan perjuangan dengan meninggalkan urusan keluarganya; mengabaikan urusan hatinya; meredam aktivitas hobinya; menunda kegiatan studi atau pekerjaannya, me-reschedule kegiatan lainnya; berpura-pura kelihatan sehat padahal sedang sakit; bahkan diam-diam meminjam uang untuk operasional keberangkatan.
Belum lagi bilamana menghadapi medan konflik di ruang perkaderan yang kerapkali
menyulut emosi atas nalar inkonstutusi atau tradisi, dimana kemudian kepekaan rasa dan ketajaman logika seorang instruktur disini berperan untuk mampu menjadi medium bagi ikhitiar resolusi konflik yang terjadi, bukan malah turut memperkeruh situasi.Instruktur sebagai gurunya himpunan dituntut untuk menjadi suri teladan dalam
keikhlasan dan kesungguhan berjuang, cerdas hati dan fikiran, serta berperilaku bijaksana dengan menumbuh-kembangkan kader menjadi dirinya yang lebih baik, bukan malah disuruh menjadi pribadi persis seperti intruktur tersebut. Dan saya merasa bahwasanya menjadi seorang instruktur itu begitu berat. Sumpah yang begitu getir membuat diri ‘ketar-ketir’ bilamana sampai hati ‘menolak’ tugas suci dalam perkaderan.
Nyatanya, belum begitu banyak yang saya berikan kepada himpunan. Tapi setidaknya
berbagai ikhtiar diri terus diupayakan. Sebagai seorang kader HMI yang merintis profesi keinstrukturan di himpunan hampir (lima) tahun terakhir ini, rasa-rasanya HMI hampir menjadi separuh kehidupan. Dimana kehidupan selain HMI adalah perkuliahan, keluarga, masjid dan pesantren, bahkan hampir luput mengurusi soal perasaan. HMI menjadi begitu posesif, manakala sejenak kita rehat dalam aktivitas umat, kader-kader yang perlu pencerahan meminta diberi hak intelektualnya atau panggilan ‘mendadak’ lainnya..
Menjadi instruktur adalah pilihan yang terbaik untuk dapat terus bersyukur dengan ruang
yang luas berbagi kebermanfaatan. Namun disisi lain, menjadi instruktur itu sendiri adalah cara paling efektif merusak perkaderan himpunan dari dalam. Hal demikian mesti kita pertegas dalam spirit saling mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran dalam perjuangan. Egoisme diantara instruktur bukan pada objektifitas personalitinya, melainkan pada dialektika gagasan pembaruannya. Menasihati dengan menyerang individu instruktur adalah sebuah pembunuhan karakter. Artinya saling menasihati pun penting untuk dilakukan dengan santun, santai, bahkan disertai ‘humor kesadaran’ dengan lelucon atau guyonan dalam nasihat yang mencerahkan. Sebab dalam kenyataannya memang lebih sulit menasihati orang yang ‘merasa’ memiliki kecerdasan dan kemampuan daripada menasihati mereka yang ‘sadar’ belum berilmupengetahuan. Dan instruktur yang sejatinya memahami keterbatasannya sebagai manusia, hendaklah menjadikan ‘kritik’ dan ‘saran’ sebagai kebutuhan pertimbangannya untuk memperbaiki diri. Sehingga bilamana dikritik atau dicaci, dia tidak tumbang. Bilamana dipuji, dia tidak terbang.
Penulis: Taufikurrahman
(Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga HMI Cabang Gowa Raya)