Edarinfo.com– Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan mencakup sejumlah lembaga, termasuk madrasah, pesantren, dan program pendidikan Islam di sekolah umum. Pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga keagamaan untuk mempromosikan pengembangan pendidikan Islam di wilayah tersebut.
1. Peranan Raja-Raja Islam
Raja-raja Islam memiliki peran penting dalam sejarah dan perkembangan masyarakat Islam. Mereka tidak hanya sebagai pemimpin politik, tetapi juga pemimpin spiritual dan budaya. Peran raja-raja Islam mencakup melindungi umat, menerapkan hukum Islam, mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan seni, serta mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kebajikan dalam masyarakat mereka. Selain itu, mereka sering menjadi pelindung bagi para ulama dan pusat kegiatan keagamaan.
2. Gurutta H. M. As’ad Perkumpulan Tablig Ke MAU Sengkang
Salah satu lembaga pendidikan tertua di Sulawesi Selatan yang di kenal luas di Indonesia adalahMadrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di sengkang,kabupaten wajo,yang di dirikank bersetuju dengan bulan Zulkaidah 1348 H. yang bertepatan dengan bulan mei 1930 M. Oleh K.H.muh as’ad yang baru saja kembali dari mekah adalah di madrasah Al-Falah.
Pada awal mulanya MAI sengkang hanya merupakan pengajian dengan sistem mengaji tu’dang yang di adakan di rumah K.H.muh.as’ad,yang oleh penduduk setempat dan murid-muridnya, hingga kini, menyebutnya anregurutta sade. Menyusuldengan santrinya yang semakin bertambah banyak, maka tempat mengajinnya pun di pindahkan ke mesjid jami,sengkang. Walaupun mengaji tu’dang masih berlanjit, seiring dengan berkembangnya jumlah santri yang tidak tertampung lag, maka didiranlahlembaga pendidikan madrasahdengan sistem klasikal yang oleh K.H.muh as’ad pengorganisasiannya di percayakan kepada salah seorang ustaddan sekaligusmurid kepercaannya, yang kemudian juga terkenaj sebagai ulama besar Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan, takni K H Abd Rahman Ambo Dalle.
Selama MAI Sengkang masih di bawah kepemimpinan k.h Muh As’ad tidak ada perluasan ekspansiWilayah .Beliau tidak membenarkan adanya pendirian madrasah MAI di tempat lain, baik sebagai cabang maupun sebagai filiah. Dampak dari kebijakan ini adalah semua santri yang ingin memperoleh ilmu adri K.H. Muh As’ad harus dating ke sengkang dan mondok di MAI Sengkang.Hal ini di sebabkan oleh kekuatiran beliau akan sulitnya mengendalikan cabang-cabang menjaga standar mutu pendidikan ,dan nantinya akan mempengaruhi citra MAI Sengkang secara keseluruhan.Beliau tidak pernah khawatir akan kekurangan santri ,seandainya dibuka kesempatan mendirikan cabang atau filiah di luar Sengkang sekalipun.
Berkat pembinaan yang di lakukan oleh K.H.Muh As’ad , maka dari MAI Sengkang inilah lahir ulama sekaligus tokoh pendidikan Islam Sulawesi Selatan yang terkemuka, seperti: K.H.Muhammad Daud Ismail, K.H.Muh Abduh Pabbajah, K.H.Muh Yunus Maratan, K.H.Muhammad YusufHamzah, K.H. Abdul Muin Yusuf, K.H.Muhammad Amberi Said, K.H.Djunaid Sulaiman, K.H. Muhammad Amin Nashir, K.H.MarzukiHasan, dan tentunya K.H.Abdul Rahman Ambo Dalle. Kesemuanya adalah merupakan santri angkatan pertama dari K.H.Muh. As’ad.
Hanya saja, pembinaan langsung yang di lakukan oleh K.H.Muh As’ad kepada santri- santri MAI Sengkang tidak begitu lama, karna tuhan telah memanggil beliau ketika beliau masih dalam usia yang relative muda, 45 tahun.
Beliau wafat pada hari senin, 12 rabiul akhir 1372 H. bertepatan dengan 29 desember 1952 M. atau dua tahun setelah Sulawesi selatan melepaskan diri dari pemerintahan Indonesia timur (NIT) buatan belanda bersama dengan wilayah-wilayah indonesia lainnya melalui konferensi meja bundar di belanda pada bulan November-desember 1949, kecuali irian barat yang nanti diintegrasi republik Indonesia pada tahun 1962. Untuk mengenang jasa-jasa K.H. Muh. As’ad, tokoh pendiri dan pembina MAI Sengkang serta ulama pertama yang memperatekkan pendidikan pondok pesantren dengan sistem klasikal, maka pada tanggal 25 Sya’ban 1372 H. yang bertepatan dengan tanggal 19 mei 1953 murid-muridnya bersepakat mengubah nama MAI menjadi perguruan As’adiyah, suatu nama perguruan yang tidak sekedar mengabadikan nama K.H.Muh As’ad, tetapi juga suatu nama perguruan yang mengandung harapan agar santi-santri yang belajar di perguruan ini dapat mewarisi ilmu dan kemasyuran K.H.Muh As’ad.
Setelah perubahan nama perguruan atau setelah K.H.Muh As’ad wafat baru ada keberanian dari pengelola mendirikan cabang di luar kota sengkang. Selain perluasan cabang ke beberapa daerah, juga perguruan as’adiyah mengalami perluasan jenjang pendidikan, yang kini pengelola mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai pada tingkat perguruan tinggi.
3. Perkembanga MAI Sengkang
Anregurutta Haji Muhammad As’ad wafat pada hari senin 12 Rabiul Akhir 1372 H atau 29 Desember 1952 rsetelah menderita sakit lama tujuh hari .Untuk menggantikannya memimpin MAI Sengkang ,tampillah Anregurutta Haji Daud Ismail, salah seorang murid seniornya. Untuk mengabadikan nama beliau, dalam musyawarah MAI pada tanggal 25 Sya’ban 1372 H atau 9 Mei 1953 di sepakati untuk mengganti nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang menjadi Madrasah As’adiyah(MAI).
Dalam perkembangannya, Madrasah As’adiyah menjadi organisasi yang menbina madrasah dan pondok pesantren yang berpusat di kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo. Saat ini, menurut data tahun 2003, Pengurus Besar As’adiyah yang di pimpin oleh Prof.Dr. H.M Rafi’Yunus (hasil Muktamar PB.As’adiyah 2003) membina 301 madrasah dan pondok pesantren yang tersebar pada dua belas Kabupaten, Wajo (157 madrasah), Kabupaten Bone (58 madrasah), dan Kabupaten Soppeng (20 madrasah).
Sebenarnya, perkembangan As’adiyah sedikit lambat bila di bandingkan dengan usianya. Hal itu tampaknya tidak terlepas dari kebijakan sentralisasi yang ditetapkan Anregurutta H.M.As’ad, semasa hidup, Anregurutta As’ad tidak mengizinkan di dirikan madrasah di tempat lain sebagai cabang dari madrasahnya. Beliau mengkhawatirkan kalau banyak cabang lalu tidak mampu mengontrol nya akan mengakibatkan rusaknya mutu madrasah yang di pimpinnya. Karena itu, semasa hidup Anregurutta tidak ada cabang yang di buka. Penbukaan cabang di lakukan pasca kepemimpinan Anregurutta Haji Muhammad As’ad.
Anregurutta H. M. as’ad ; Dari perkumpulan tablig ke MAI sengkang
Salah seorang ulama yang sangat besar peranannya dalam perkembangan pendidikan Islam di sulawesi selatan adalah Haji Muhammad As’ad bin Haji abdur Rasyid Al-bugisy beliau berasal dari wajo namun kakek dan orang tuanya adalah Ulama bugis yang bermukim di mekkah dan Haji Muhammad As’ad sendiri di lahirkan di mekkah pada tanggal 12 rabiustsani 1326 Hijriyah atau tahun 1907 miladiyah .
Tahun 1928, ketika berusia 21 tahun Haji muhammad As’ad kembali ke tanah leluhurnya di negeri Wajo. Setiba di Sulawesi selatan beliau melihat berbagai praktik-praktik dalam masyarakat yang sangat bertentangan dengan Akidah Islam seperti penyembahan berhala dan pemberian sesajen kepada benda-benda yang di keramatkan. Maka, langkah awal yang dilakukanya untuk memerangi kemungkaran itu adalah pembentukan perkumpulan tabligh yang beranggotakan murid-muridnya sendiri. Beliau sendiri sebagai ketuanya dan langsung memimpin jalanya jamaah tabligh tersebut. Terkadang berjalan kaki, terkadang naik kendaraan dari kota ke dese-desa atau sebaliknya tanpa mengenal lelah.
Berkat ketekunan, ketegasan, dan kegigihan dalam waktu yang relatif singkat masyarakat meninggalkan perilaku-perilaku khurafat, syirik, dan kemungkaran lainya. Salah satu contoh adalah paham tentang bolehnya mengfidyah Salad. Suatu ketika Anregurutta H . M . As’ad di undang menghadiri pemakaman salah seorang kerabat Arung Matoa Wajo ( Raja Wajo ) H. Andi Maddukkalleng. Saat itu beliau di tawari berkenang menerimah fidyahnya orang yang meninggal dunia dan semasa hidup meninggalkan salad. Tawaran itu di tolaknya dan beliau menyampaikan bahwa salat itu tidak boleh di fidiyah padahal fidiyah itu berupa emas dan uang tunai yang jumlahnya cukup banyak. Karna sikap tegasnya itu, paham yang mudah melekat pada masyarakat sulawesi selatan , khususnya di Wajo, akhirnya di tinggalkan masyarakat. Demikian juga tentang mengulang salad duhur sesudah salad jum’at yang banyak di lakukan masyarakat di daerah soppeng. dalam suatu pertemuan yang di hadiri oleh Datu Soppeng, beliau dengan tegas menyatakan bahwa tidak boleh mengulang sholat duhur kalau sholat jum’atnya sah.
Keteguhan sikap Anregurutta H. M. As’ad juga tampak ketika wafat Arung Matowa Wajo ke 47 Andi Oddang Pero sebagian besar anak cucunya menghendaki agar orang tuanya di kuburkan di dalam mesjid jami ‘ Sengkang. Tetapi, Anregurutta melarang hal tersebut dan menyuruh supaya penggalian lian kubur di hentikan. Maralah orang yang melakukan penggalian dan mempertahankan kemauan keluarga Arung Matoa . Anregurutta tetap bertahan dengan sikapnya. Akhirnya di adakan musyawarah dengan keputusan bahwa Arung Matowa Wajo di kuburkan di luar ( di sebelah barat ) Masjid Jami.
Di samping itu, Haji Muhammad As’ad aktif memberikan pengajian dengan sistem halaqah di rumahnya atau di mesjid titik berat materi pelajaranya adalah pada masalah akidah dan syariah. Semakin lama pengajiannya itu di datangi oleh santri dari berbagai daerah hingga sistem halaqah di anggap tidak cocok lagi. Karna itu, pada bulan mei 1930 beliau membuka sistem pendidikan formal dalam bentuk madrasah atau sekolah di samping mesjid jami sengkang yang di beri nama madrasah arabiyah islamiyah (MAI). Dua tahun kemudian di bangun lah gedung sekolah permanen di samping kiri dan kanan mesjid jami sengkang, atas bantuan pemerintah kerajaan Wajo bersama toko Agama dan toko Masyarakat.
Dari lembaga pendidikan ini lahir lah sejumlah ulama, di antaranya: H . Abdu Rahman Ambo Dalle, Haji Daud Ismail, Haji Hobe , Haji Muhammad Yunus Maratan, Haji Muhammad Abduh Pabbajah, Haji Muhammad Amberi Said, Haji Junaid Sulaiman, Haji Muhammad Yusuf Hamzah, Haji Abdul Muin Yusuf, Haji Muhammad Amind Nashir, Haji Marzuki Hasan, dan lain-lain.
Para lepasan MAI Sengkang ini kemudian mendirikan pesantren di berbagai daerah. di antaranya : AG. H. Abdurahman Ambo Dalle mendirikan MAI Mangkoso lalu bersama AG. H. Daud ismail dan AG. H. M. Abduh Pabbajah mendirikan DDI. AG. H. Daud Ismail juga mendirikan pesantren Yasrip di wantang soppeng. AG. H. Junaid Sulaiman mendirikan pesantren Ma’had Hadits di watang pone dan AG. H. Abd . Muin Yusuf mendirikan pesantren Al Urwatul Wutsqa di benteng Rappang dengan sistem pendidikan yang secara umum hampir sama, kecuali Haji marsuki Hasan yang mendirikan pesantren Darul Istikomah sistemnya agak berbeda dengan pesantren – pesantren yang di sebut terdahulu.
Pemikiran Anre Gurutta Haji Muhammad As’ad dapat di baca pada buku-buku yang telah di tulisnya diantaranya: Idharul Haqiqah, berbahasa bugis, berisi ajaran akidah-akidah yang benar dan tidak benar (syirik), Assiratun Nabawiyah (berbahasa arab dan bugis), Kitabul Aqaaid (berbahasa bugis), Kitabuzzakah (berbahasa bugis dan indonesia), dan lain-lainya.
Gurutta H. M. As’ad; dari Perkembangan Tabligh ke MAI Sengkang
Salah seorang Ulama yang sangat besar peranannya dalam pengembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan adalah Haji Muhammad As’ad Bin Haji Abdul Rasyid AL-Bugisy. Beliau berasal dari wajo namun kakek dan orang tuannya adalah ulama Bugis yang bermukim di Mekkah dan haji Muhammad As’sd adalah di lahirkan di Mekkah pada tanggal 12 Rabiustsani 1329 Hijriah atau tahun 1907 Miladiah.
Tahun 1928, ketika berusia 21 tahun Haji Muhammad As’sd kembal;I ke tana leluhurnya ke tanan wajo. Setiba di Sulawesi Selatan beliau melihat berbagai praktik-praktik dalam masyarakat yang sangat bertentangan dengan akidah Islam,seperti penyembahan berhala dan pemberian sesajen kepada benda-benda yang di keramatkan.
Maka, langkah awal yang di lakukannya untuk memerangi kemungkaran itu adalah membentuk perkumpulan tabligh yang beranggotakan murid-muridnya. Beliau sendiri sebagai ketuanya dan langsung memimpin jalannya jamaah tabligh tersebut. Terkadang berjalan kaki, terkadang naik kendaraan dari kota ke desa-desa atau sebaliknya tanpa mengenal lelah.
Berkat ketekunan, ketegasan dan kegigihannya dalam waktu yang relatif singkat masyarakat meninggalkan perilaku-perilaku khurafat, syirik, dan kemungkaran lainnya. Salah satu contoh adalah faham tentang bolehnya memfidyah salat.
Penulis, Ahmad Safwan, Sartika, Muhammad Nur Hidayat