1.Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle ; dari Sengkang ke Mangkoso
Diantara murid-murid angkatan pertama Anregurutta H. M. As’ad adalah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle termasuk murid yang menonjol dan cepat menarik Yang diasuh oleh Anregurutta H. M. As’ad Itu sudah setaraf dengan gurunya.
Mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah , ia diserahi Perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah Yang berkedudukan di Mangkoso. Halakah dengan sistem tradisional, sedangkan Itulah yang membuat MAI Sengkang memiliki kelebihan dibandingkan lembaga pendidikan yang lain.
2.Kerajaan Soppeng Riaja dan Kelahiran MAI Mangkoso
Sebelum masuknya Islam, di wilayah Soppeng Riaja berdiri beberapa kerajaan kecil, seperti Balusu, Ajakkang,Kiru-Kiru, dan Siddo, yang kesemuanya bernaung di bawah Kerajaan Ajatappareng dan diawasi oleh Kerajaan Lili Nepo. Wilayah ini kemudian diberi nama Soppeng Riaja yang artinya Soppeng bagian Barat.
Setelah Soppeng Riaja ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1905, yang diangkat menjadi Arung Soppeng Riaja
Adalah Andi Tobo Petta Coa, dengan pangkat Kepala Zelfbestuur . Karena kondisi kesehatannya, tahun 1932 Petta Lawallu mengundurkan diri sebagai arung dan digantikan oleh adiknya, Muhammad Yusuf Andi Dagong dengan gelar Perta Soppeng. Rupanya Arung Soppeng Riaja dan peserta pertemuan pertemuan lainnya tertarik juga dengan lembaga pendidikan itu karena dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang lain.
Maka, sesuai dengan hasil musyawarah, Petta Soppeng mengirim utusan yang dipimpin oleh H. Kittab, kadhi Soppeng Riaja. Sebelumnya, beberapa daerah sudah mengajukan permintaan yang sama tetapi ditolak oleh Anregurutta H. M. As’ad .Namun setelah melalui negoisasi yang panjang dan alot, akhirnya permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja dapat dikabulkan. Setelah pengajian berlangsung selama dua puluh hari, pada hari Rabu 20 Zulkaidah 1357 H atau 11 Januari 1939 Gurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle membuka madrasah dengan tingkatan Tahdiriyah, Ibtidaiyah, idadiyah, dan Tsanawiyah. Para santri ditempatkan di tingkatan-tingkatan tersebut berdasarkan hasil tes yang dilakukan sendiri oleh Anregurutta. Nama yang diberikan adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah Mangkoso. Namun, MAI Mangkoso tidak ada hubungan organisasi dengan MAI Sengkang. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta dibantu oleh dua belas orang santri seniornya yang beberapa orang diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang.
3.MAI Dalam Masa Penjajahan
Dalam masa penjajahan Belanda, kegiatan MAI Mangkoso tidak pernah mengalami tekanan dari pemerintah. Hal itu karena pemerintah Kerajaan Soppeng Riaja adalah bagian dari struktur pemerintahan Belanda . Segala aktivitas pesantren berada dalam perlindungan Arung Soppeng Riaja yang memang menjadi sponsor utama MAI Mangkoso. Pemerintah Jepang mengawasi dengan ketat setiap sekolah serta melarang orang untuk berkumpul-kumpul karena aktivitas seperti itu dapat memancing tentara sekutu yang sedang mempersiapkan serangan balasan.
H. Abdurrahman Ambo Dalle mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke mesjid dan rumah-rumah guru. Dengan cara demikian, madrasah dan pesantren tetap berjalan. Bahkan dalam suasana seperti itu, MAI Mangkoso membuka lagi satu tingkatan, yaitu Alimiyah pada tahun 1944.
4.MAI Dalam Masa Westerling
Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan cepat beritanya tersebar ke luar Jakarta dan Pulau Jawa, termasuk ke Sulawesi Selatan melalui radio, surat kabar, dan dari mulut ke mulut. Keduanya mengirimkan pesan-pesan pemberitahuan kepada raja-raja dan bangsawan berpengaruh di Sulawesi Selatan yang pada umumnya adalah keluarga dekatnya. Hal itu terlihat dari sikap mereka ketika menolak kehendak Belanda yang berusaha mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Maemunah, BPRI Pare-Pare, Gerakan Muda Bajeng yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo, Ganggawa Andi Tjammi, Andi Mattalatta, dan sebagainya.
Terjadilah pembantaian dan pembunuhan di berbagai daerah terhadap rakyat yang dituduh ekstrimis dibawah komando Kapten Westerling. Banyak santri atau guru-guru yang ditugaskan mengajar ke cabang-cabang MAI menjadi korban keganasan tentara westerling. Shaleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua orang santri MAI Mangkoso yang dikirim oleh AG. Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangkan bangsa dan negara.
5.DDI dan Musyawara alim Ulama se Sulawesi Selatan
Kebetulan, letak Mangkoso berdekatan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin Februari 1947 M atau 16 Rabiul Awal 1366 H. Yang dihadiri oleh sejumlah ulama dari berbagai daerah di sulawesi selatan. Hasil pertemuan itu adalah terbentuknya Organisasi yang bergerak di bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial kemasyarakatan yang diberi nama Darud dakwah wal Irsyad dengan Anregurutta H. Abd Rahman Ambo dalle.
Pertemuan Watang Soppeng dipandang sebagai pertemuan sejumlah alim ulama dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan yang prihatin melihat kondisi umat Islam di daerahnya dan sepakat membentuk sebuah organisasi yang kemudian diberi nama DDI.
Setelah DDI terbentuk, MAI Mangkoso dan beserta seluruh cabang-cabangnya yang ada di daerah-daerah berintegrasi ke dalam DDI bersama lembaga pendidikan lainnya seperti al Madrasah al Tarbiyah al Islamiyah Allakkuang yang dipimpinan Anregurutta H. Muhammad Abduh Pabbaja, Madrasah al Irsyad Pattojo di Soppeng, Madrasah Nashrul Haq di Amparita yang dipimpinan oleh Anregurutta H. Al Yafie dan Madrasah/pengajian yang dipimpin oleh Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.
6.DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII
Kemerdekaan yang telah diperoleh bangsa Indonesia ternyata tidak langsung membawa ketenteraman dan kesejahteraan bagi rakyat, sehingga menimbulkan pergolakan dan pemberontakan di berbagai tempat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kahar Muzakkar disamping gerombolan lainnya yang berada dalam kesatuan yang bernama Tentara Keamanan Rakyat dibawa pimpinan Ali/Usman Balo, gerombolan yang menggunakan nama Tentara Rakyat Indonesia dan selam itu masih terdapat lagi kesatuan gerombolan pengacau lainnya yang tidak memiliki identitas yang jelas. Dijk , Boland , dan Gonggong , tiga orang pakar sejarah yang meneliti gerakan ini sepakat bahwa awalnya pemberontakan ini semata-mata merupakan letupan ketidakpuasan para mantan pejuang gerilya yang tergabung dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan.
Darud Dakwah wal Irsyad yang menganut faham sunni dianggap sebagai Organisasi yang tidak menampung perjuangannya.
Pada sisi lain sikap TNI, terutama yang datang dari Jawa karena kemiripan nama DDI dengan DI ditambah lagi keberadaan Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Mengenai keberadaan Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle dalam kekuasaan DI/TII, menurut Bahar Mattaliu dalam bukunya “Pemberontakan Meniti Jalur kanan” menyebutkan bahwa penculikan ulama dilakukan dengan maksud memperkuat posisi majelis Ulama yang dibentuk dalam rangka penerapan syarat Islam pasca Proklamasi integrasi dengan DI/TII Kartosuwiryo pada tahun 1953.
Penculikan terhadap Anregurutta H. Abd. Rahman Matemmang, Sedangkan penyergapan terhadap Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
H . Abd. Rahman Ambo Dalle sewaktu dalam perjalanan di daerah Belangbelang-Maros pada Tanggal 18 juli 1955, dilakukan oleh sekelompok pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok yang berada dalam garis komando Bahar Mattaliu sebagai komandan Divisi 40.000 DI/TII yang membawahi daerah Sulawesi Selatan.
Apalagi banyak guru-guru yang dikirim mengajar ke daerah-daerah pegunungan menjadi korban, entah diculik oleh pasukan DI/TII atau dibunuh oleh pasukan TNI karena dicurigai sebagai anggota DI/TII. Jafar, salah seorang guru DDI yang ditugaskan mengajar di desa Galung, salah satu kawasan pegunungan di Kec. Barru.
Demikian pula di Baerah, daerah pegunungan yang terletak sekitar lima kilometer sebelah timur Takkalasi, sembilan orang warga DDI ditembak karena dicurigai sebagai penyokong DI/TII.Saat berada kembali di terang- terangan warga DDI, Anregurutta segera melakukan konsolidasi organisasi dengan mengadakan musyawarah pendidikan Pengurus Besar DDI di Mangkoso dan mendirikan Perguruan Tinggi DDI yang diberi nama Universitas Islam DDI dengan Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Rektornya.
7.Struktur dan Perkembangan DDI dari Masa ke Masa
Pertemuan Watang Soppeng, diadakan konferensi guru-guru MAI pada bulan Sya’ban 1366 H bertempat di Saoraja Mangkoso. Pertemuan itu membicarakan pengintegrasian MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya ke dalam organisasi DDI. Mangkoso ditetapkan sebagai pusat organisasi dengan pertimbangan bahwa Anregurutta H. Untuk mengesahkan susunan pengurus DDI hasil pertemuan Watang Soppeng, diadakan Muktamar pertama di Mangkoso pada tahun 1948. Muktamar kedua dilaksanakan tahun 1949, dibuka di Mangkoso dan dilanjutkan di Pare-Pare yang dirangkaikan dengan pembukaan/peresmian penggunaan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI di sebelah selatan Masjid Raya Pare-Pare.
Sejak itu mulai ditata administrasi organisasi. Sebelumnya, pada periode MAI hubungan antara pusat dan cabang lebih bersifat personal daripada bersifat administrasi organisasi. Semua guru yang ditugaskan mengajar pada cabang-cabang MAI di daerah adalah santri-santri MAI Mangkoso yang bertugas secara periodik. Karena itu, jalinan komunikasi yang menonjol adalah komunikasi antara murid dan guru.Murid yang hendak diberi pengajaran b. Nafkah guru yang mengajar serta ongkos-ongkos pergi pulangnya dari kantor pusat. 5/33/11 tercantum dalam Anggaran Dasar DDI dan senantiasa disempurnakan sesuai dengan tuntutan kebutuhan organisasi. Istilah sekretaris umum, komisaris, dan bahagian-bahagian dalam PB-DDI pada Muktamar ke-11 di Watan Soppeng telah diubah menjadi sekretaris jenderal, koordinator daerah, dan lembaga. Bahkan perubahan lebih jauh adalah menyangkut nama lembaga itu sendiri, misalnya bahagian pendidikan menjadi Lembaga Tarbiyah dan Lembaga Jamiah serta bagian Majelis Ulama DDI menjadi Majelis Ifta. Pengurus Besar Darud Da’wah Wal Irsyad adalah badan eksekutif organisasi dan merupakan pimpinan tertinggi organisasi yang menentukan kebijaksanaan umum dalam pengendalian organisasi sesuai dengan AD/ART serta ketetapan-ketetapan Muktamar DDI. Majelis Pembina diangkat dari Ulama dan pemimpin Islam yang mempunyai komitmen terhadap pengembangan organisasi. Majelis Pengurus adalah pimpinan tertinggi organisasi yang bertugas mengendalikan organisasi dalam arti luas dan melaksanakan hasil-hasil keputusan Muktamar. Lembaga Tarbiyah, yaitu lembaga yang bertugas membina dan mengkoordinasi madrasah dan sekolah DDI dari tangkat Raudhatul Athfal , Ibtidaiyah , Tsanawiyah , dan tingkat Aliyah atau yang sederajat.
Lembaga Jamiah, yaitu lembaga yang bertugas membina dan mengkoordinasi perguruan tinggi. Lembaga kader, yaitu lembaga yang bertugas melakukan kaderisasi. Lembaga ifta/penelitian yaitu lembaga yang bertugas memberikan fatwa dan melakukan penelitian terhadap suatu masalah yang membutuhkan penetapan dalam lingkungan organisasi dan kehidupan masyarakat. Lembaga dakwah, yaitu lembaga yang bertugas membuat peta dan silabus dakwah, melaksanakan dan mengendalikan jalannya dakwah serta melakukan pelatihan dakwah.
Lembaga ekonomi ialah lembaga yang mengkoordinasikan kegiatan dan usaha ekonomi. Lembaga Bantuan Hukum ialah lembaga yang memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat secara luas, khususnya warga DDI. Sedangkan inspektorat adalah badan yang di bentuk oleh pengurus besar untuk mengawasi dan memeriksa pelaksanaan kegiatan organisasi sampai ke tingkat ranting. Adapun Biro adalah badan yang di bentuk oleh pengurus besar DDI untuk menangani bidang khusus, yaitu humas dan luar negeri. Selain perangkat-perangkat tersebut di atas, DDI juga memiliki badan otonom yang merupakan badan dalam organisasi DDI yang berfungsi untuk melaksanakan kebijaksanaan organisasi yang ada dalam wilayahnya. Kekuatan utama DDI memang terletak pada lembaga pendidikan, khususnya madrasah dan pesantren, yang pada umumnya pada umumnya berbasis di daerah.
Sementara kegiatan dakwah lebih banyak bersifat personal yang banyak di lakukan oleh mubaligh-mubaligh DDI. Saat ini, menurut data terakhir yang ada pada pengurus besar DDI jumlah madrasah yang di bina oleh DDI khusus di Sulawesi Selatan sebanyak 273 buah yang tersebar pada 21 kabupaten/kota. Jumlah madrasah untuk seluruh Indonesia kurang lebih 600 buah yang tersebar pada sembilan belas Provinsi. Madrasah yang ada di luar negeri, khususnya di Malaysia, laporannya belum masuk ke PB DDI sehingga belum bisa di lakukan pendataan.
8. Pola penyebaran DDI
Menurut Prof Abd Hamid, Guru Besar Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin Makassar, migrasi atau perantauan besar-besaran orang Bugis terjadi dalam 3 gelombang. Gelombang pertama pada abad ke 17 ketika terjadi perperangan antara kerajaan Gowa dan Bone yang berujung pada lahirnya perjanjian Bungaya.
Gelombang kedua pada abad ke 19 ketika Belanda memaksakan untuk memperbarui perjanjian Bungaya yang ternyata ditolak oleh raja bone. Secara kultural, orang Bugis memang memiliki jiwa perantau passompe, di tambah kekacauan yang terjadi di kampung halamannya, mendorong mereka untuk meninggalkan negerinya guna mencari kehidupan yang lebih baik. Imam dan ustadznya di ambil dari anggota rombongan perantau-perantau tersebut, atau sengaja di datangkan dari kampung halamannya bila kehidupan di rantau sudah di anggap cukup mapan apabila menghendaki lembaga pendidikan yang lebih baik, biasanya mereka mengirimkan anaknya ke Sulawesi Selatan untuk belajar agama pada pesantren yang di anggapnya cukup baik. Setelah menamatkan pelajaran, di antaranya ada yang kembali ke perantauan untuk membuka madrasah atau pesantren.
Pola penyebaran seperti di atas pada umumnya di alami oleh madrasah atau pesantren DDI di berbagai daerah. Itulah sebabnya DDI pada umumnya berkembang di daerah-daerah yang banyak terkonsentrasi orang-orang Bugis seperti, Samarinda, Balikpapan, Bontang, dan Kutai di Kalimantan.
Penulis, Mahatir Mubaraq, Sitti Kafilah Sari, Reski Amelia, Muhammad Rafly Usman