Edarinfo.com– Pemilu 2024 adalah pemilunya anak-anak muda. Hasil rilis daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan jika pemilih muda yang berasal dari Generasi Milenial dan Z mendominasi dengan presentasi mencapai 55 persen atau 107 juta pemilih. Dari angka itu, diperkirakan setidaknya ada 44 juta pemilih muda yang berasal dari desa, yang bisa kita sebut sebagai pemuda desa.
Secara historis, pemuda desa sering terlibat dalam aksi memobilisasi teman sebaya, keluarga, dan komunitas mereka menuju transformasi sosial (Costanza-Chock 2012). Pemuda desa akan menjadi target penting dan menentukan dalam kontestasi Pemilu 2024.
Sayangnya, pengalaman dari dua pemilu sebelumnya (tahun 2014 dan 2019) terasa tidak mengenakkan. Praktik kampanye yang banyak menonjolkan sentimen negatif dan kebohongan mengakibatkan polarisasi kuat di masyarakat. Jika dibiarkan, hal ini bisa menjadi ancaman bagi pemuda desa dan proses politik itu sendiri. Pemuda desa yang minim pengalaman di pemilu rentan menjadi sasaran empuk dan bahkan alat dalam praktik kampanye hitam yang merusak.
Lalu, apakah momentum Pemilu 2024 ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh pemuda desa sehingga bisa merubah masa depan politik bagi dirinya, desa, dan bahkan Indonesia menjadi lebih baik?
Dalam pusaran masalah struktural
Posisi pemuda desa secara ekonomi politik masih sangat lemah. Meskipun ekonomi global telah mulai pulih, lapangan kerja bagi kaum muda memburuk beberapa tahun terakhir. International Labour Organization (ILO) dari tahun 2017 telah memperkirakan bahwa 156 juta pemuda di negara berpenghasilan rendah dan menengah hidup dalam kemiskinan meskipun mereka bekerja.
Lebih spesifik, kondisi pemuda desa lebih mengkhawatirkan lagi. Jumlah pemuda desa di negara berkembang memang terus meningkat, tetapi persoalan, seperti ketimpangan dan marjinalitas pemuda dalam pembangunan, masih kerap terjadi dan jika dibiarkan bisa semakin mengenaskan (Arslan et al 2020; Gomez 2019; Egbo 2020).
Hasil penelitian oleh Tim IPB University melalui Data Desa Presisi hingga 2022 menunjukkan bahwa ratusan desa di Indonesia memiliki rata-rata pemuda yang menganggur atau tidak bekerja mencapai 33,2 persen, lebih banyak dibandingkan dengan presentase pemuda bekerja yang hanya 30,5 persen, sisanya sebagai pelajar/mahasiswa sebesar 21,6 persen, dan pemuda yang mengurus rumah tangga sebesar 14,7 persen. Apalagi, ukuran-ukuran pembangunan di pedesaan, seperti ketimpangan, pengangguran, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang masih di bawah angka normal (Sjaf 2023).
Persoalan-persoalan tersebut semakin menempatkan pemuda desa berada pada impitan struktural yang kuat. Ben White (2019) meramalkan, pada tahun-tahun mendatang, pengangguran massal kaum muda desa (termasuk pengangguran kaum muda terdidik) akan menjadi ciri struktural, kronis, dan permanen.
Kondisi pemuda desa semakin rentan karena sering diabaikan di arena politik pembangunan. Pemuda desa dianggap kurang punya kecakapan dalam keterampilan dan mental. Padahal, pemuda sejauh ini selalu menjadi aktor penting dalam membawa perubahan di masyarakat. Hanya saja, sebagai aktor sosial, pemuda ditempatkan dalam posisi dilematis, di satu sisi pemuda diromantisasi sebagai ”harapan”, di sisi lain kerap dianggap ”penyakit” yang merusak dunia orang dewasa (Naafs dan White 2012). Wacana yang mendiskreditkan peran pemuda ini kemudian menjadi dominan dan dianggap lumrah.
Arena pertarungan politik
Posisi desa diakui semakin strategis. Desa bahkan dianggap lebih ”seksi” untuk dikembangkan dibandingkan kota. Daerah pedesaan telah menjadi situs bagi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi baru, seperti bisnis teknologi dan jasa tinggi, serta situs baru untuk relokasi manufaktur dari pusat-pusat industri (Winter 1996). Maka, tidak berlebihan jika mengatakan, desa adalah masa depan ekonomi dan politik Indonesia.
Konsekuensinya, desa berkali-kali jadi bahan ”jualan” dalam politik. Misalnya, pada 2014 setelah adanya Undang-Undang Desa (UU Desa), banyak parpol dan calon presiden menjanjikan dana desa yang besar akan diberikan. Saat ini, menjelang 2024 telah didorong revisi UU Desa untuk mengubah masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun dan kenaikan dana desa sebesar 20 persen. Revisi UU Desa ini adalah usulan sembilan fraksi di DPR. Usulan yang terkesan dadakan dan sarat sebagai jualan lagi menjelang Pemilu 2024.
Sebenarnya, tidak hanya dalam kontestasi politik nasional, desa nyatanya selalu jadi arena penting dalam pertarungan politik di setiap level kekuasaan, baik pada pemilihan gubernur, bupati, maupun kepala desa. Aktor-aktor yang terlibat tidak hanya para calon dan partai yang terdaftar, tetapi juga para bohir yang berkepentingan untuk memastikan jagoannya. Dalam setiap pemilu, selalu ada dana besar dengan nilai fantastis berhamburan di desa yang entah dari mana asalnya. Jika mekanisme politik uang ini terus berlangsung, hal itu tentu tidak sehat bagi kehidupan politik di Indonesia ke depan.
Masa depan politik Indonesia
Momentum Pemilu 2024 sebagai peristiwa politik yang sangat strategis mestinya bisa mengubah kondisi pemuda desa yang banyak terjebak dalam pusaran masalah struktural. Menempatkan pemuda desa sebagai aktor kunci dalam Pemilu 2024 bahkan penentu masa depan politik Indonesia perlu memperhatikan beberapa hal.
Pertama, perlu kita memahami kondisi dan kebutuhan pemuda desa dengan data presisi. Identifikasi pemuda desa secara menyeluruh dapat jadi pijakan yang krusial. Jika tidak dilakukan pendataan yang tepat, sangat sulit kita bisa memahami keadaan dan kebutuhan pemuda desa sesungguhnya. Sebab, tanpa pemahaman yang baik, berarti masih terbuka peluang adanya pemuda desa yang tesisihkan. Harusnya, tidak ada satu pun pemuda desa yang ditinggalkan dalam mekanisme politik dan pembangunan.
Kedua, melaksanakan pendidikan politik bagi pemuda desa untuk bisa menciptakan pemuda desa sebagai intelektual kolektif. Jadi, tidak sekadar upaya meningkatkan pendidikan formal bagi pemuda desa yang memang sangat mendesak, tetapi juga memberikan pendidikan politik dengan prinsip-prinsip inklusifitas, kejujuran, dan kemanusiaan. Membentuk komunitas pemuda desa yang memiliki kesadaran berpolitik yang berakal sehat sehingga polarisasi akibat politik praktis tidak lagi terjadi.
Ketiga, membuka ruang untuk pemuda desa bisa mengorganisasi dan bergerak untuk melakukan aksi kolektif. Pemuda desa mungkin hanya butuh dibukakan ruang berekspresi. Ruang di mana mereka tidak perlu harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi tertentu. Ruang pemuda desa dapat diterima karena identitas mereka dan apa yang dapat mereka kontribusikan.
Selebihnya, bersama pemuda desa semua pihak mesti sadar dan terlibat untuk berpolitik dengan aktif dan baik. Melalui politik progresif dari pemuda desa diharapkan dapat menjadi motor untuk percepatan pembangunan bagi Indonesia yang lebih berkeadilan, mencerdaskan, menyejahterakan, dan mengasyikkan.
Penulis, Rajib Gandi