Edarinfo.com– Semakin mendekat tahun 2024 dengan kian maraknya baliho bergambar para calon dari anggota legislatif sampai eksekutif, mendadak saya membayangkan andai kata postmodernism masih sehat walafiat. Ibarat pacar lama, postmodernism—selanjutnya akan saya sebut postmo—pada masanya merupakan payung teori untuk melihat semua fenomena dari arsitektur, filsafat, sejarah, dan lain-lain sampai cinta (Roland Barthes menulis buku berjudul A Lover’s Discourse).
Postmo melakukan analisis dengan jenaka, ironis, seperti main-main terhadap hal-hal serius, sebaliknya serius terhadap hal main-main. Seperti dikenang banyak orang, selain menolak teori-teori besar alias grand narratives, postmo mencomot pendekatan apa saja, menjadikan dirinya tampak bukan saja multidisiplin, tapi antidisiplin.
Saya bayangkan terhadap baliho-baliho di pinggir-pinggir jalan, pacar lama ini akan berujar: mereka menampilkan identitas yang bukan identitas mereka. Jangan-jangan dia malah akan melakukan analisis mengenai kreativitas kalangan orangtua dalam hal memberi nama anak. Ada nama-nama yang lucu, belum lagi tampangnya, bikin pengin ketawa.
Banyak para calon menyertakan gelar akademik yang panjang—meski tetap tidak tampak wibawa intelektualnya sebagaimana dulu saya melihat Dr Soedjatmoko, Dr Umar Kayam, Dr Toeti Heraty, dan lain-lain. Dengan gelar akademiknya, di mata saya mereka malah lebih tampak seperti tetangga kampung yang memakai jas kegedean. Saya tertawa sendiri.
Entah apa pula yang hendak dikatakan postmo melihat kontestasi kekuasaan saat ini. Kemungkinan ia akan mencomot cara pandang Benedict Anderson dalam esainya, The Idea of Power in Javanese Culture. Melalui esainya yang terkenal tersebut, Anderson membedakan cara pandang terhadap kekuasaan antara masyarakat demokrasi Barat dan masyarakat Jawa (boleh juga, mengingat sebagian besar kontestan di pucuk kekuasaan sekarang berasal dari Jawa).
Kalau di Barat kekuasaan bersifat abstrak, di Jawa kekuasaan dipersepsikan sebagai sesuatu yang konkret. (Baru-baru ini ada politikus menyatakan ia butuh kekuasaan. Tentu ia membayangkan kekuasaan itu konkret layaknya biskuit, ia minta secuil.)
Sebagai sesuatu yang abstrak, di Barat sumber kekuasaan heterogen berasal, misalnya, dari organisasi, kekuatan persenjataan, kekayaan, pendeknya kekuasaan lahir dari suatu relasi sosial. Tergantung sumbernya, kekuasaan menjadi bermacam-macam jenisnya. Sebaliknya, di Jawa sumber kekuasaan bersifat homogen (dari kuasa langit), maka jenisnya pun sama. Pokoknya kuasa.
Perbedaan-perbedaan di atas membawa konsekuensi, di Barat kekuasaan menjadi mulur mungkret, tergantung dari akumulasinya, apakah sistem persenjataan makin kuat, modal makin besar, dan seterusnya. Lain di Jawa, karena kekuasaan adalah gejala alam, maka ia fixed, mutlak, harga mati. Orang yang berkuasa membayangkan diri akan memiliki kekuasaan selamanya, besar-kecilnya sama, lengser atau tidak lengser. Ha-ha-ha….
Konsekuensi berikut, kekuasaan yang lahir akibat dari suatu relasi sosial seperti di Barat akan terus-menerus digugat legitimasinya. Moral kekuasaan dipertanyakan, seberapa sah kekuasaan yang lahir dari ancaman persenjataan, politik uang, dan seterusnya.
Berkebalikan dengan di Jawa, tidak ada pertanyaan mengenai legitimasi dan moral kekuasaan. Penguasa—betapa pun korupnya—adalah penguasa. Anderson menekankan dengan ucapan: Power is.
Pada masanya postmo dianggap mengganggu hegemoni, hegemoni dalam apa saja, baik politik maupun akademik. Banyak intelektual lawasan kala itu risih terhadap postmo.
Yah, bisa dibayangkan. Terhadap gejala adikuasa buzzer, influencer, sukarelawan, atau apalah sebutannya sekarang, misalnya, bisa saja postmo menyebut ini sebagai kemenangan kaum buruh. Kok bisa? Bisa, andaikata postmo mendefinisikan influencer dan sejenisnya sebagai buruh penguasa.
Sebagai buruh, mereka telah meraih tempat istimewa melebihi posisi para profesor, doktor, intelektual, budayawan, dan lain-lain. Mereka runtang-runtung dengan penguasa. Jabatan strategis bisa dicapai melalui jalur influencer.
Untunglah postmo dengan analisis-analisis yang kerap menjengkelkan telah tak musim lagi. Postmo, sebuah keceriaan sesaat dalam perjalanan teori-teori ilmu sosial, tinggal kenangan.
Tak banyak yang merasa kehilangan, walau dengan perginya postmodernism sebenarnya kita belum punya nama baru bagi zaman seusai berakhirnya era modernisme. Kecuali satu yang dari dulu dikenal orang Jawa: zaman edan.
Penulis, Bre Redana
Editor: Hamka Pakka