Edarinfo.com– Wanita dianggap sebagai makhluk yang Sui Genens sehingga waktu yang diluangkan untuk melakukan kajian mengenai wanita sangat banyak. Baik dalam kajian sosial, antrophologi, sejarah maupun kajian terhadap teks-teks kitab suci. Dari hasil kajian tersebut ditemukan suatu realitas sosial bahwa dalam banyak hal perempuan selalu ditempatkan pada posisi second Class.

Sistem patriarkhi (dominasi laki-laki) sebagai suatu kenyataan sosial diperkuat pula oleh adanya teks-teks kitab suci yang seolah-olah menempatkan perempuan pada posisi kelas dua. Sebagai contoh teks agama yang menomorduakan perempuan adalah Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Afwa, Rasulullah Saw. Teks agama ini jelas memaksakan kehendak pada seorang perempuan, dimana ketaatannya kepada suaminya berada Pada posisi setelah ketaatan kepada Tuhan tanpa mernberikan satu syarat atau kondisi yang bisa merubah keadaan itu.

Terdapat empat bidang masalah yang menjadi halangan terciptanya ‘Hubungan Jender yang lebih adil, yaitu bidang Yang berkaitan dengan Teologi (pandangan agama), Kebudayaan (Persepsi Masyarakat), Ruang Publik dan Politik.

Penulis, Mahasiswa Semester II Prodi Pendidikan Agama Islam IAI DDI Sidrap, Siti Nurfadhilah

A. Bidang Teologi

Di bidang teologi, terdapat penafsiran keagamaan terhadap ayat atau hadist yang kurang sesuai dengan prinsip keadilan jender, sebaliknya malah bias pada laki-laki. Dalam

penafsiran ini, perempuan didudukkan pada posisi yang lebih rendah pada laki-laki.

Sumber dalam penafsiran ini adalah kata “qawwamun” dalam surat An Nisa : 34, serta

hadits “lan yufliha qaumun wallau amrahum Imra’atan”. Kedua ayat dan hadits itu

ditafsirkan menurut -referensi lama yang menegaskan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan. Dari sudut penafsiran ini pula, terdapat pemahaman mengenai dua

wilayah yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki berada diwilayah publik

atau wilayah mu’amalah, sementara perempuan berada diwilayah domistik atau rumah tangga.

Penulis, Mahasiswa Semester II Prodi Pendidikan Agama Islam IAI DDI Sidrap, M. Nasrullah

B. Bidang Kebudayaan

Di bidang kebudayaan, terdapat apa yang disebut kebudayaan patriarkhi, yaitu kebudayaan yang “memapankan peran laki-laki untuk melakukan apa saja dan menentukan apa saja,disadari atau tidak”. Sebaliknya kaum perempuan berada pada posisi subordinat, yakni tunduk pada laki-laki.

Perempuan juga dianggap hanya layak berada di Wilayah domistik, sesuai dengan pandang

perempuan sebagai kanca wingking, yakni teman dibelakang atau dibalik diwilayah publik yang ditempati laki-laki. Untuk menjelaskan soal subordinasi dan marjinalisasi Perempuan ini, kita dapat meyebut sejumlah pandangan dan fakta-fakta sosial budaya yang masih terus berlangsung bahkan sampai saat ini.

Di masyarakat kita, terutama di pedesaan, Juga masih berlaku tradisi dimana orang tua

mengawinkan anak perempuannya yang masih dibawah umur. Mereke menganggap

mengawinkan anak lebih cepat adalah lebih baik. Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk soal kawin muda ini. Boleh jadi agar ia cepat lepas dari tanggung jawab orang tua.

C. Bidang Kebudayaan

Alasan ini biasanya lebih bersifat ekonomis. Boleh jadi Juga karena tekanan masyarakatnya. Orang tua sering kali mendapatkan tekanan normatif dari masyarakatnya demikian besar untuk segera menikahkan anak gadisnya, karena nilai-nilai sosial budaya memandang tugas utama perempuan adalah berumah tangga, di dapur, menjadi isteri dan ibu.

Jadi perkawinan dipandang sebagai semata-mata kewajiban sosial, dan bukan karena pertimbangan-pertimbangan

lainnya. Atau boleh jadi untuk menghindari bahaya hubungan seks pranikah. Ini merupakan alasan moral keagamaan.

Ada pula yang pandangan menganggap hal itu justeru merupakan kebanggaan orang tua, karena dengan begitu anak gadisnya laku cepat. Sebaliknya, menjadi perawan tua justru merupakan cap yang tidak mengenakkan.

Pada sisi lain, keputusan untuk mengawinkan atau tidak mengawinkan juga sangat tergantung pada orang tua terutama laki-laki. Pertimbangan anak gadisnya tidak lagi di anggap penting.

D. Ruang Publik

Pada ruang publik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan di hargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justeru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan, karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal domestik. Itu pun sebatas apabila di izinkan oleh suaminya, karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan.

E. Bidang Politik

Di bidang politik. terdapat praktek-praktek politik yang mendiskriminasikan perempuan. Di setiap instansi formal, kehadiran perempuan sangat marginal akibat ketidakterwakilan perempuan dalam pusat-pusat pengambilan Kebijakan. Sehingga “isu-isu yang menjadi perhatian perempuan sering tidak mendapatkan perhatian di dalam perdebatan-perdebatan politik.”

Perempuan hanya menjadi obyek dari sistem politik yang dibangun secara sepihak oleh kaum laki-laki. Lebih dari itu semua, peran perempuan dalam wilayah publik/politik juga masih dibatasi. Fenomena, relitas, dan fakta-fakta sosial budaya sebagaimana dikemukakan diatas memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris, yang timpang, yang tidak setara, dan diskriminatif.

F. Bidang Politik

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Parepare, kita dapat melihat dalam sebuah organisasi misalnya, perempuan hanya dapat kita jumpai dalam posisi sebagai bawahan. Hal ini dipicu oleh keterbatasan perempuan yang tidak pernah mampu untuk melaksanakan tugas yang diemban sebagai ketua/pemimpin sebuah organisasi, seakan-akan bahwa pekerjaan sebagai seorang pemimpin adalah merupakan tugas seorang laki-laki dan tugas perempuan hanyalah melingkupi job-job yang umumnya dapat dilakukan oleh perempuan.

Jadi dalam hal ini, anggapan bahwa keterbatasan gender bukanlah sebuah persoalan yang sangat penting untuk kita permasalahkan, akan tetapi kita harus mengetahui bahwa hal ini terjadi karena keberadaan perempuan yang tidak pernah dapat menempatkan dirinya sebagai yang terbaik, dan juga sebagai seorang perempuan mereka tidak pernah mampu menanggalkan sifatnya sebagai seorang perempuan yang banyak memiliki kelemahan.

 

Penulis, M. Nasrullah, Siti Nurfadhilah