Opini, Edarinfo.com– Kebohongan dan fiksi mulai beredar kembali di sekitar kita. Propaganda dan disinformasi menjejali pikiran kita hari-hari ini.

Dalam Mein Kampf, Hitler menulis bahwa “Tekhnik propagandis yang paling brilian tidak akan menghasilkan kesuksesan kecuali satu prinsip fundamental selalu diingat- ia harus membatasi dirinya pada beberapa poin dan mengulanginya terus menerus”.

Bahwa “Kebohongan yang diceritakan sekali itu tetap kebohongan, tetapi kebohongan yang diceritakan seribu kali akan menjadi kebenaran,” tukas Joseph Goebbels, maestro propaganda Nazi.

Katanya, jika menginginkan kekuasaan, pada titik tertentu harus menyebarkan fiksi. Manusia lebih memilih kekuatan dibandingkan dengan kebenaran.

Arus besar para ahli memang menyebut propaganda sebagai manipulasi. Harold Lasswell menyebutnya “manipulasi psikologi”. Everett Dean Martin menyebutnya teknik yang membuat kita menjadi boneka, karena digerakan oleh instrumen tersembunyi yang dimanipulasi. Emma Briant mendefinisikannya, sebagai manipulasi representasi untuk menghasilkan efek.

Apapun definisi mereka, semuanya sepaham bahwa manipulasi dalam propaganda dirancang dan dioperasikan secara sadar, sengaja, sistematis dan sistemik. Garth Jowett dan Victoria O’Donnell menyebutnya, sebagai soft power qt melalui budidaya bahan-bahan yang dipropagandakan.

Ada fakta-fakta ketertindasan dan kesenjangan, yang diramu dan dibudidaya sedemikian rupa untuk tujuan sempit mengatasnamakan tujuan sosial. Karena itu pula, propaganda juga disebut “manipulasi realitas sesungguhnya”.

Demi sebuah efek, bahan-bahan yang memanipulasi realitas akan selalu mengeksploitasi sisi banal manusia: kesukaan pada kontestasi, kepemilikan, heroisme/jagonisme atau jagoanistik, penguasaan dan sejenisnya, yang lahir dari kekuasaan dan bukan yang dipayungi oleh kebenaran.

Dalam arus jamak, banalitas semacam itu– dari pengalaman peradaban yang berulang-ulang–selalu tidak tahan mengelilingi permasalahan di atas 200 derajat. Diktum bahwa “The devil is in the details” sangat berlaku dalam pri dan laku ketidaktahanan akan daya rinci itu.

Padahal, elemen misterius yang tersembunyi dalam details jika punya daya tahan menggeledahnya pasti akan menemukan seberkas cahaya menuju kebenaran. Tapi inilah praktik yang tidak disukai oleh pencipta realitas wacana dalam propaganda: akan ketahuan derajat kebohongannya dalam memanipulasi realitas sesungguhnya.

Politisi benar-benar memiliki lisensi gratis untuk berbohong melalui lidahnya. Di bawah semua berita dan informasi palsu ataupun asli tapi palsu (aspal), ada fakta nyata bahwa penderitaan adalah nyata.

Penulis : Dany Rahmat Muharram, Aktivis Pelajar Sulawesi Selatan