Opini, Edarinfo.com– Sudah delapan puluh tahun bangsa ini mengibarkan Merah Putih dan berdiri sebagai negara berdaulat di hadapan dunia. Namun di balik gegap gempita perayaan, tersisa pertanyaan yang belum menemukan jawaban tegas: kemerdekaan ini milik siapa, rakyat atau para penguasa?

Sejarah mencatat bahwa rakyatlah yang menanggung beban paling besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Petani meninggalkan sawahnya, buruh menghentikan pekerjaannya, pemuda dan mahasiswa mengorbankan masa depannya, masyarakat adat mempertahankan tanah dan hutan mereka—semuanya demi satu cita-cita: merdeka. Mereka percaya bahwa kemerdekaan berarti terbebas dari penindasan kolonial dan memperoleh hak menentukan nasib sendiri.

Namun setelah delapan dekade, rasa getir justru semakin terasa. Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh rakyat seringkali tampak hanya dinikmati oleh segelintir penguasa. Demokrasi berubah menjadi panggung transaksi kekuasaan. Tanah-tanah adat diklaim sebagai milik negara, lalu diberikan kepada korporasi. Hutan-hutan digunduli atas nama pembangunan. Suara rakyat yang menolak sering dibungkam, bahkan dipidana. Seolah-olah rakyat hanya diperlukan saat pemilu, kemudian diabaikan setelahnya.

Inilah paradoks kemerdekaan kita: rakyat berjuang untuk merdeka, tetapi yang menikmati hasilnya justru para elit politik dan ekonomi. Pertanyaannya, apakah ini wajah kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsa? Ataukah yang terjadi kini hanyalah pergantian bendera penjajah dengan wajah baru dari bentuk penindasan yang sama?

Kemerdekaan sejati seharusnya tidak diukur dari usia republik atau megahnya perayaan, melainkan dari sejauh mana rakyat merasakan keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan. Selama masyarakat adat masih kehilangan tanahnya, buruh masih harus bekerja dengan upah murah, nelayan terusir dari lautnya, dan mahasiswa ditangkap karena menyampaikan kritik, maka kemerdekaan belum benar-benar berpihak pada rakyat.

Di hari ini, delapan puluh tahun setelah Proklamasi, kita diajak untuk merenung: apakah kemerdekaan masih hidup di dada rakyat, atau telah lama dirampas oleh para penguasa?

 

Penulis: Fernando Simanjuntak (Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Karno)