Jakarta, Edarinfo.com — Nama Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha tidak hanya dikenal sebagai istri pertama Nabi Muhammad SAW. Ia adalah pelipur lara, peneguh hati, dan tiang pertama dari rumah kenabian. Dalam setiap langkah dakwah Islam yang pertama, jejak Khadijah senantiasa ada, tenang, kokoh, dan menguatkan.
Seperti dikisahkan dalam buku Wanita-wanita Teladan di Zaman Rasulullah karya Desita Ulla R, Khadijah adalah orang pertama yang membenarkan risalah kenabian Nabi Muhammad SAW. Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira, dan Rasulullah pulang dalam keadaan cemas dan menggigil, Khadijah tak banyak tanya. Ia menyelimuti beliau, memeluknya dengan cinta, lalu berkata dengan keyakinan yang tak tergoyahkan:
“Tenanglah… Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu. Engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, menolong yang lemah, memberi kepada yang tak punya, memuliakan tamu, dan membantu dalam setiap kebaikan.” (HR Bukhari)
Ucapan itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah pengakuan penuh iman. Tanpa ragu, Khadijah menjadi manusia pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan sebelum ada perintah dakwah dan sebelum wahyu kedua turun.
Khadijah lalu membawa Rasulullah menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal, seorang ahli kitab. Ketika Waraqah mendengar kisah tentang Malaikat Jibril, ia berkata:
“Itulah Namus (Jibril) yang dahulu pernah Allah utus kepada Musa. Andaikan aku masih kuat dan hidup saat engkau diusir oleh kaummu…” (HR Bukhari)
Penopang Dakwah dan Pengorbanan Tanpa Batas
Bukan hanya imannya yang luar biasa, pengorbanan Khadijah dalam perjuangan Islam juga tak tertandingi. Dalam buku Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Kisah Istri-Istri Nabi Muhammad SAW karya Herwanti Subekti, diceritakan bahwa Khadijah menginfakkan seluruh hartanya demi mendukung dakwah suaminya. Ia rela hidup dalam penderitaan ketika kaum Quraisy memboikot Bani Hasyim, terasing di Lembah Abu Thalib selama tiga tahun, namun tak sekalipun ia mengeluh.
Cinta dan kesetiaan Khadijah begitu membekas dalam hati Rasulullah SAW. Bahkan bertahun-tahun setelah ia wafat, nama Khadijah masih sering disebut oleh Nabi dengan penuh rindu. Beliau bersabda:
“Dia (Khadijah) beriman kepadaku saat orang lain mendustakanku. Dia membenarkanku saat yang lain menolak. Dan dia menyokongku dengan hartanya ketika orang lain menahan.” (HR Ahmad)
Wajar jika Rasulullah SAW menyebut tahun wafatnya Khadijah sebagai ‘Aamul Huzn, tahun kesedihan.
Lebih dari Sekadar Istri
Dalam sejarah Islam, Khadijah bukan hanya seorang istri, bukan hanya pendamping. Ia adalah bagian dari assabiqunal awwalun, orang-orang pertama yang beriman. Ia adalah penjaga risalah, penyokong perjuangan, dan simbol kekuatan cinta yang menginspirasi.
Khadijah telah membuktikan bahwa di balik perjuangan besar, selalu ada cinta yang besar pula. Ia mengajarkan bahwa keimanan sejati bukan sekadar menerima, tetapi juga berani mengorbankan, jiwa, raga, dan harta, demi kebenaran yang diyakini.
Warisan Teladan untuk Palestina
Di tengah penderitaan panjang yang dialami rakyat Palestina hari ini, keteladanan Khadijah terasa semakin relevan. Ia mengajarkan bahwa iman bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga keberpihakan kepada yang lemah dan terzalimi. Seperti Khadijah yang menyokong dakwah Rasul dengan seluruh hartanya, kita pun bisa ikut berjuang dengan memberikan kepedulian, baik itu melalui doa, edukasi, atau donasi.
Palestina bukan hanya isu politik, tetapi juga ujian nurani. Maka, mari warisi semangat Khadijah: menjadi penguat bagi perjuangan, menjadi bagian dari harapan yang tak pernah padam. Karena iman sejati tak pernah diam saat keadilan dikoyak dan kemanusiaan dilukai. Mari berjuang bersama Palestina. Klik disini.