“Islam ingin agar laki-laki dan perempuan saling membantu dalam menjaga moral masyarakat. Oleh karena itu, keduanya memiliki tanggung jawab dalam menahan diri.” Murtadha Muthahhari

Opini, Edarinfo.com– Beberapa hari lalu, saya mengikuti forum kajian bertema The Philosophy of Muthahhari yang dibawakan oleh Pengasuh PPM Madrasah Muthahhari–Rausyan Fikr, A.M. Safwan. Salah satu bagian yang menurut saya sangat penting untuk direnungi adalah teologi hijab.

Selama ini, banyak dari kita memaknai hijab secara sempit, yakni sebatas kerudung atau penutup kepala yang dikenakan oleh perempuan muslim. Pandangan ini memang tidak salah, tetapi sangat reduktif. Jika hijab hanya dilihat sebagai pakaian, apakah itu cukup untuk menjamin harkat dan martabat perempuan terlindungi? Jika jawabannya iya, mengapa pelecehan seksual terhadap perempuan masih terus terjadi?

Lebih ironis lagi, kasus-kasus pelecehan itu justru kerap muncul di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi perempuan, di dalam keluarga, lembaga pendidikan, bahkan pesantren. Saya yakin para santri perempuan di pesantren mengenakan kerudung. Namun faktanya, banyak di antara mereka tetap menjadi korban pelecehan. Tak jarang, pelakunya adalah orang-orang yang mengklaim diri sebagai pengemban nilai-nilai agama.

Dari sinilah pentingnya kita memahami hijab secara filosofis. Hijab sejatinya adalah simbol perlindungan dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Tapi, perlindungan itu tak boleh berhenti pada aspek simbolik atau visual saja. Sebab sejatinya, martabat perempuan juga sangat bergantung pada cara masyarakat memperlakukan dan menghormati mereka.

Jika hijab dimaknai sebagai pelindung martabat perempuan, maka tanggung jawab menjaga martabat itu tidak bisa hanya dibebankan kepada perempuan. Laki-laki pun memikul tanggung jawab yang sama. Mengapa? Karena menjaga martabat perempuan berarti menjaga diri sendiri dari perilaku yang bisa merendahkan atau menyakiti perempuan, baik secara fisik maupun psikologis.

Dengan kata lain, laki-laki juga harus berhijab. Bukan dalam bentuk kain, tetapi dalam bentuk pengendalian diri, menundukkan pandangan, menahan hawa nafsu, serta menempatkan perempuan sebagai manusia yang mulia, bukan sebagai objek. Inilah bentuk hijab yang harus dikenakan oleh laki-laki: kesadaran dan komitmen untuk menghormati perempuan dalam pikiran, sikap, dan perbuatan.

Selama ini, narasi hijab sering kali hanya diarahkan kepada perempuan, seolah-olah merekalah satu-satunya pihak yang harus “melindungi diri”. Padahal, budaya patriarki yang tidak menempatkan perempuan sebagai subjek yang setara justru menjadi sumber utama persoalan. Maka, reformasi cara pandang tentang hijab sangat mendesak dilakukan. Hijab bukan hanya urusan pakaian, tetapi urusan keadilan, etika, dan kemanusiaan.

Karena pada akhirnya, hijab sejati adalah hijab yang dikenakan oleh hati dan pikiran. Dan selama laki-laki belum belajar menutup hawa nafsunya, sehelai kerudung pun tak akan mampu melindungi perempuan dari luka.

Penulis, Hamka Pakka