Makassar, Edarinfo.com – Tiga organisasi mahasiswa dan kepemudaan, yakni Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Himpunan Mahasiswa Islam (LKBHMI) Cabang Makassar, Gerakan Mahasiswa Laskar Merah Putih Sulawesi Selatan (GEMA LMP Sulsel), dan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Universitas Muslim Indonesia (HMI Hukum UMI), menggelar konferensi pers di salah satu kafe di Jalan Topaz Raya, Kota Makassar, Kamis (17/4/2025).
Konferensi pers ini digelar untuk merespons rencana eksekusi Showroom Mazda yang terletak di Jalan Andi Pangeran Pettarani, yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada Senin, 28 April 2025 mendatang.
Direktur LKBHMI Makassar, Alif Fajar, menyoroti praktik eksekusi lahan yang kerap terjadi tanpa memperhatikan prinsip keadilan sosial dan hak-hak konstitusional warga negara. Ia mengingatkan bahwa hukum seharusnya menjadi alat rekayasa sosial yang adil dan berpihak kepada rakyat, bukan sekadar instrumen kekuasaan.
“Secara hukum, eksekusi memang sah jika berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, dalam praktiknya, proses eksekusi kerap tidak transparan, tidak akuntabel, dan mengabaikan hak-hak masyarakat kecil yang terdampak,” jelas Alif.
Ketua GEMA LMP Sulsel, Aru, mengimbau masyarakat Makassar agar tidak terprovokasi dan tidak menjadi alat kepentingan kelompok tertentu. Ia mengajak masyarakat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal Bugis-Makassar seperti sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge.
“Jangan sampai kita dikorbankan hanya demi kepentingan pribadi segelintir orang. Justru kita harus bersatu melawan pihak-pihak yang ingin memecah belah dan menciptakan kerusuhan di tanah yang kita cintai ini, Makassar,” tegas Aru.
Sementara itu, Ketua Umum HMI Hukum UMI, Syarif, menyebut rencana eksekusi tersebut sebagai ujian bagi institusi Kepolisian, khususnya Kapolda Sulsel dan Kapolrestabes Makassar, dalam menjaga netralitas dan kondusifitas kota.
Ia memperingatkan agar pengawalan oleh aparat kepolisian dalam proses eksekusi tidak dilakukan secara berlebihan, mengingat pengalaman sebelumnya yang membuat masyarakat merasa terintimidasi.
“Pada eksekusi sebelumnya, ada sekitar 1.000 hingga 1.500 aparat bersenjata lengkap yang diturunkan. Masyarakat merasa seperti sedang berada dalam situasi perang,” ungkapnya.
Syarif menegaskan, jika pengawalan berlebihan kembali terjadi, pihaknya akan mempertanyakan netralitas kepolisian dan menduga adanya intervensi dari kepentingan tertentu. (*)