Opini, Edarinfo.com– Beberapa hari yang lalu, saya diundang oleh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sidrap untuk mengisi kelas ngaji logika dan filsafat. Kegiatan ini terasa menarik, terutama karena bertepatan dengan bulan Ramadan, menjadikannya aktivitas yang produktif sembari menjalankan ibadah puasa. Tema yang diamanahkan kepada saya dalam kelas ini adalah “Logika Fallacy.”
Saya pertama kali menemukan pembahasan tentang logika fallacy ketika membaca buku Rekayasa Sosial karya Jalaluddin Rakhmat. Buku ini mengulas berbagai studi kasus tentang fallacy yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia dan sering dimanfaatkan oleh politisi serta media untuk kepentingan mereka. Mengapa bisa demikian?
Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia dalam mengolah informasi dan argumentasi masih tergolong rendah. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam kesalahan logika atau fallacy. Contoh nyata terjadi baru-baru ini ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Ketua Umum DPP Golkar, Bahlil Lahadalia, menanggapi hastag Kabur Aja Dulu yang digaungkan anak muda. Alih-alih memahami keresahan mereka terhadap sulitnya akses pekerjaan yang layak di negeri sendiri, beliau justru menyebut bahwa orang-orang yang menggunakan hastag tersebut tidak nasionalis. Ini merupakan contoh Fallacy of Personal Attack, mengalihkan fokus dari isu utama dengan menyerang karakter atau niat pengkritik.
Kesalahan logika lain yang sering terjadi adalah ketika media membingkai seorang pejabat sebagai sosok religius hanya karena ia banyak menyumbang ke pesantren atau masjid, meskipun di saat yang sama, praktik kemaksiatan seperti tempat hiburan malam, penipuan, dan prostitusi online masih dibiarkan merajalela. Ini adalah contoh Fallacy of Popularity, di mana sesuatu dianggap benar atau baik hanya karena banyak orang mempercayainya.
Selain kedua contoh di atas, masih ada berbagai jenis fallacy yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Strawman Fallacy, yaitu ketika seseorang mendistorsi atau melebih-lebihkan argumen lawannya agar lebih mudah diserang. Contohnya, dalam perdebatan mengenai kebijakan makan gratis untuk anak sekolah, ada pihak yang mengkritik efektivitas program tersebut dengan mempertanyakan anggaran serta mekanisme distribusinya. Namun, kritik ini justru dibalas dengan tuduhan bahwa mereka yang tidak mendukung program ini berarti tidak peduli terhadap kesejahteraan anak-anak. Padahal, kritik yang diberikan lebih kepada bagaimana kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik, bukan menolak manfaatnya.
Jenis lainnya adalah False Dilemma, yaitu ketika seseorang menyajikan dua pilihan seolah-olah tidak ada alternatif lain. Misalnya, dalam perdebatan politik, sering muncul narasi, “Jika kamu tidak mendukung kebijakan pemerntah, berarti kamu oposisi dan tidak peduli dengan negara.” Padahal, ada banyak sudut pandang dan solusi lain yang bisa dipertimbangkan.
Penting bagi kita untuk mengenali berbagai jenis fallacy ini agar tidak mudah terjebak dalam manipulasi logika yang sering digunakan oleh politisi, pejabat, media, atau bahkan dalam diskusi sehari-hari. Cara terbaik untuk menghindari fallacy adalah dengan meningkatkan literasi logika, membaca lebih banyak referensi yang kredibel, serta selalu berpikir kritis sebelum menerima suatu informasi sebagai kebenaran mutlak.
Sebagai langkah awal, kita bisa mulai dengan mempertanyakan setiap klaim yang kita dengar: Apa dasar argumen ini? Adakah bukti yang mendukungnya? Apakah ada kemungkinan bias atau kesalahan logika di dalamnya? Dengan menerapkan kebiasaan ini, kita bisa menjadi individu yang lebih bijak dalam menyaring informasi dan lebih sulit dimanipulasi oleh propaganda atau framing yang menyesatkan.
Dengan memahami dan menghindari fallacy, kita tidak hanya melindungi diri sendiri dari misinformasi, tetapi juga berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih kritis dan cerdas dalam berargumentasi. Sebab, pada akhirnya, logika yang sehat adalah salah satu kunci utama dalam menciptakan perdebatan yang konstruktif dan demokrasi yang lebih berkualitas.
Penulis: Hamka Pakka (Jurnalis)
Editor: Salsabila Indri Fitria