Sosok, Edarinfo.com – “Film adalah alat yang sangat ampuh dalam membentuk perasaan dan tindakan seseorang. Jadi kalau ditanya seberapa penting, ya sangat penting dan sangat ampuh,” tegas Irham Acho Bahtiar, sutradara di balik kesuksesan Coto vs Konro, dalam sesi wawancara eksklusif bersama kami, Rabu, 12 Februari 2025.
Irham lahir di sebuah kampung kecil di ujung timur Papua, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Dengan misi kuat mengangkat budaya lokal ke layar lebar, ia telah menjelma menjadi salah satu sineas yang patut diperhitungkan dalam industri perfilman Indonesia.
Dari Komik ke Layar Lebar
Sejak kecil, Irham Acho gemar bercerita melalui gambar. Hobi menggambar komik menumbuhkan hasratnya untuk membuat film. Karena di kampungnya saat itu belum ada televisi dan listrik, ia belum mengenal kamera video. Sebagai gantinya, ia membuat sandiwara radio yang direkam sendiri di kaset tape. Komik dan kaset yang ia buat dipinjamkan bergantian, menjadi hiburan bagi seluruh warga kampung.
Saat SMA, ia belum tahu jalur pendidikan yang tepat untuk mewujudkan impiannya. Hingga suatu hari, sebuah program televisi tentang profesi sutradara membuka wawasannya. Setelah mengetahui bahwa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) adalah tempat terbaik untuk belajar film, ia pun memutuskan untuk berkuliah di sana.
Lulus dari IKJ, Irham kembali ke Merauke dan mulai membuat film pendek bersama teman-temannya. Tanpa disangka, karyanya viral dan banyak dibajak dalam bentuk VCD, tanda tingginya minat masyarakat terhadap filmnya. Tahun 2010, ia merantau ke Jakarta, bekerja sebagai produser kreatif di rumah produksi, serta menggarap video iklan televisi. Hingga akhirnya, ia mendirikan Rumah Semut Film, rumah produksi yang terinspirasi dari semut-semut Merauke yang membangun rumah menjulang tinggi.
“Jangan tanya kerjaku, tapi lihatlah karyaku.” , itulah filosofi yang dipegang Irham dalam berkarya.
Mimpi sebagai Sumber Inspirasi
Dalam proses kreatifnya, Irham Acho sering mendapat inspirasi dari mimpi. “Saya sering bermimpi seperti menonton sebuah film, mulai dari awal cerita hingga judulnya pun kadang diberikan. Saya merasa mimpi itu seperti petunjuk langsung dari Tuhan,” tuturnya.
Meski sering menggarap film berdasarkan pesanan, ia tetap menyisipkan gagasan pribadinya agar filmnya tetap otentik. Ia mengidolakan Steven Spielberg, bukan hanya karena karyanya, tetapi juga karena perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan.
Misi Mengangkat Budaya Lokal
Irham memiliki prinsip kuat dalam berkarya: menciptakan sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya. “Kalau kita bikin hanya itu-itu saja, kapan perfilman Indonesia berkembang?” katanya.
Salah satu fokus utamanya adalah memberi panggung bagi aktor-aktor daerah. Coto vs Konro menjadi bukti nyata, di mana beberapa aktor lokal akhirnya dilirik oleh produser nasional. Baginya, film adalah alat pelestarian budaya yang efektif, dan ia berharap pemerintah daerah lebih mendukung produksi film lokal.
Tantangan di Industri Perfilman
Meski industri film Indonesia terlihat berkembang, Irham menilai masih banyak tantangan. “Kalau kita melihat dari sekian banyak film, masih lebih banyak yang gagal ketimbang yang sukses, kan? Jadi menurut saya, industri ini masih semu meski kelihatan maju.”
Tantangan lainnya adalah tekanan untuk mengikuti permintaan produser, meski terkadang kurang sesuai dengan visinya. Ia juga pernah mengalami pengalaman pahit saat tidak dilibatkan dalam proses editing filmnya sendiri. “Padahal kalau ada kritik, ujung-ujungnya saya juga yang dikritik,” katanya. Namun, ia terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi serta selera penonton.
Proyek Mendatang dan Pesan untuk Sineas Muda
Setelah sukses dengan Coto vs Konro, Irham tengah mengembangkan film Sahabat Anak, kisah nyata tentang Kak Seto dan Pak Kasur. “Minimnya film anak-anak mendorong saya untuk menggarap proyek ini,” ujarnya.
Untuk sineas muda, ia menekankan pentingnya terus belajar dan tidak cepat merasa jago. “Selera penonton itu berubah-ubah, jadi kita harus bisa beradaptasi. Buat teman-teman sineas muda, kita harus banyak belajar dan jangan cepat merasa jago.”
Menurutnya, ada tiga elemen utama dalam film yang harus diperhatikan:
- Cerita harus kuat.
- Akting harus meyakinkan.
- Sinematografi harus berkualitas.
“Kalau tiga elemen ini bagus, insya Allah filmnya juga akan bagus,” tambahnya.
Dengan semangat dan komitmennya dalam mengangkat budaya lokal, Irham Acho terus berkontribusi dalam perkembangan perfilman Indonesia. “Mari kita dukung film-film Indonesia, khususnya karya anak-anak daerah. Kalau kita nggak mendukung, takutnya mereka berhenti berkarya,” tutupnya.
Nama Lengkap: Irham Acho Bahtiar
Nama Panggilan: Acho
Tempat, Tanggal Lahir: Papua, 7 Mei 1977
Usia: 48 tahun
Alamat: Gunung Putri, Bogor
Agama: Islam
Hobi: Menonton film
Pendidikan:
- SD: SD YPPK Don Bosco Muting
- SMP: SMP Negeri Muting
- SMA: SMA Negeri 1 Merauke
- Perguruan Tinggi: D3 Film, Institut Kesenian Jakarta
Prestasi (Karya):
- Coto vs Konro (2025)
- Mosonggi (2024)
- Kutukan Peti Mati (2023)
- Jodohku yang Mana? (2022)
- Bekas Rumah Sakit (2020)
- Horas Amang: Tiga Bulan untuk Selamanya (2019)
- Bodyguard Ugal-ugalan (2018)
- Security Ugal-ugalan (2017)
- Mulolo: Jodoh Tak Bisa Dipaksa (2017)
- Epen Cupen The Movie (2015)
- Lost In Papua (2011)
- Melody Kota Rusa (2010)
Media Sosial
- Instagram: @irhamachob
- Facebook: Irham Acho Bahtiar