Opini, Edarinfo.com– Tahun ini, Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia, genap berusia 100 tahun jika masih hidup. Meskipun raganya telah tiada, gagasan dan karyanya tetap abadi, menjadi bara yang terus menyala dalam pemikiran sastra, sejarah, dan perjuangan intelektual di negeri ini.

Seperti yang sedang aku tonton saat ini, sebuah undangan untuk nonton bareng dan memberikan pengantar opini tentang film Bumi Manusia. Film ini merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya. Novel ini mengisahkan perjalanan Minke, seorang pemuda pribumi yang berpendidikan Belanda di masa kolonial Hindia Belanda. Ia jatuh cinta pada Annelies Mellema, perempuan Indo (keturunan Belanda-Pribumi) yang hidup di bawah bayang-bayang hukum kolonial yang tidak berpihak pada pribumi maupun perempuan.

Namun, kisah ini lebih dari sekadar romansa. Lewat tokoh Nyai Ontosoroh, ibu Annelies yang merupakan seorang nyai (selir), Pramoedya menggambarkan perlawanan terhadap sistem yang menindas. Minke, yang awalnya menikmati statusnya sebagai pribumi terpelajar, perlahan menyadari ketidakadilan yang melingkupinya. Lantas, apakah novel ini masih relevan saat ini?

Jika pertanyaan itu ditujukan kepadaku, jawabannya adalah iya. Inilah yang membuat novel ini tetap penting dan sebaiknya menjadi bacaan wajib serta bahan diskusi bagi anak muda. Kenapa? Karena ada satu fenomena yang terjadi di kalangan anak muda, khususnya Gen Z: kecenderungan menjadi lebih individualistik. Padahal, bangsa ini dibangun atas semangat gotong royong dan kesamaan keresahan terhadap ketimpangan social atau ketidakadilan saat itu. Sekarang, apakah ketimpangan sudah tidak ada? Apakah ketidakadilan telah hilang? Ataukah kita yang semakin apatis?

Perayaan 100 tahun kelahiran Pramoedya seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Sudahkah kita mengambil peran dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan yang ada? Jika tidak bisa mengubahnya, setidaknya kita bisa melawan. Seperti yang dikatakan oleh Nyai Ontosoroh dalam film, “Kita harus melawan sebisa kita. Kalaupun kita kalah, maka kalahnya terhormat.”

Banyak bentuk perlawanan yang bisa kita lakukan. Salah satunya adalah menulis, seperti yang dilakukan Pram. Atau bersuara melalui media sosial dengan memanfaatkan gerakan viralisme. Yang terpenting adalah menjaga agar keresahan itu tetap menyala.

Hari ini, ketika kita mengenang Pramoedya Ananta Toer, pertanyaannya bukan sekadar bagaimana kita mengingatnya, tetapi bagaimana kita meneruskan warisannya. Apakah kita sudah cukup membaca dan memahami karyanya? Apakah kita berani bersuara atas ketidakadilan seperti yang ia lakukan? Ataukah kita hanya sekadar mengutip namanya tanpa benar-benar memahami perjuangannya? Jawabannya ada pada apa yang kita lakukan hari ini.

Terakhir, aku teringat dengan ungkapan Buya Hamka: “Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja.” Dan izinkan aku menutup tulisan ini dengan kutipan Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Penulis, Hamka Pakka (Jurnalis)

Editor: Sitti Nurul Rahmadani