Opini, Edarinfo.com– Tidak ada pidato yang membahagiakan bagi seorang guru selain pidato Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim pada perayaan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019. Goresan tinta setiap kata dalam pidato tersebut betul-betul sesuai dengan kenyataan, isi hati, dan harapan seorang guru di sekolah. Tidak heran jika pidato Mendikbudristek pada saat itu mampu meneteskan air mata jutaan guru di Indonesia.
Apalagi ketika mendengar kutipan pidato ”Anda ingin membantu ketertinggalan murid di kelas, akan tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas”, membuat air mata ini menetes begitu saja. Terlebih dengan kehadiran jargon ”Merdeka Belajar” semakin membuat guru-guru yakin bahwa ini adalah saat yang tepat untuk lepas dari belenggu kepalsuan di dunia pendidikan.
Tak terasa pidato fenomenal tersebut sudah empat tahun berlalu. Akan tetapi, apakah janji tentang kemerdekaan guru sudah terpenuhi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya memperhatikan kutipan isi pidato Mendikbudristek pada perayaan HGN tahun 2023 berikut ini,
”Kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang ditunggu-tunggu para guru, karena tidak hanya meringankan beban murid karena pengurangan pada jumlah materi, dan penekanan pemahaman yang mendalam, tetapi juga memerdekakan guru untuk mengolah kreativitasnya dan berinovasi dalam pengembangan pembelajaran yang menyenangkan sesuai kebutuhan murid”.
Jika kita perhatikan kutipan isi pidato Mendikbudristek pada perayaan HGN kali ini ada hal yang ganjil. Perlu digarisbawahi bahwa guru tidak menunggu kehadiran kurikulum baru. Sebaliknya guru selalu mengeluhkan ketika ganti menteri, maka akan ganti kurikulum. Perubahan kurikulum memang sebuah keniscayaan, tetapi harus terarah, sistematis, dan periodik sehingga tidak menjadikan beban dan kebingungan guru sebagai pelaksana kurikulum. Jadi, perubahan kurikulum bukanlah jawaban atas masalah yang telah dihadapi guru selama ini.
Jika mau jujur, sebenarnya tidak ada bedanya tugas administratif guru sebelum dan saat era Merdeka Belajar. Bahkan saat ini, guru tidak hanya disibukkan dengan tugas administratif, tetapi ditambah lagi dengan kesibukan tugas di platform pendidikan. Mengisi aplikasi dengan foto selfie kegiatan harian di kelas menjadi rutinitas baru guru era sekarang.
Kemudian target menyelesaikan pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) juga menjadi salah satu contoh bertambahnya beban guru selain menyelesaikan tugas administratif pembelajaran lainnya di sekolah. Belum lagi tugas lain, seperti Operator Data Pokok Pendidikan (Dapodik), Operator ASET Daerah, Operator Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (ARKAS), Operator Kepegawaian, serta operator-operator lain.
Ketika guru masih disibukkan dengan hal-hal demikian, apakah mungkin optimal dalam menuntun tumbuh kembang murid di sekolah?
Fokus guru pada tugas menuntun murid di kelas hanyalah menjadi angan karena guru kembali disibukkan dengan kegiatan yang belum tentu menjawab permasalahan dan kebutuhan murid.
Cita-cita ”merdeka” dari belenggu tugas tanpa manfaat yang jelas tampaknya belum terlihat cahaya terangnya. Fokus guru pada tugas menuntun murid di kelas hanyalah menjadi angan karena guru kembali disibukkan dengan kegiatan yang belum tentu menjawab permasalahan dan kebutuhan murid. Hasil pekerjaan guru tidak dapat diukur dari foto kegiatan saja, tetapi yang paling utama adalah tentang kualitas manusia yang telah dididiknya.
Melihat kondisi guru yang demikian, tidak mengherankan jika sampai saat ini kita masih sering menyaksikan kasus perundungan maupun kekerasan seksual yang terjadi di sekolah. Tugas pokok guru sebagai pendidik sedikit bergeser ke tugas administrator.
Bahkan, tugas administrator tersebut sering mengalahkan tugas utama sebagai seorang guru. Ini kemudian menjadi salah satu celah terjadinya perundungan maupun kekerasan lain yang dilakukan murid di sekolah. Untuk mengatasi masalah tersebut, tidak ada jalan lain selain pengadaan tenaga administrasi sekolah sehingga guru kembali fokus pada tugas pokok dan fungsinya.
Melihat kondisi guru yang demikian, tidak mengherankan jika sampai saat ini kita masih sering menyaksikan kasus perundungan maupun kekerasan seksual yang terjadi di sekolah. Tugas pokok guru sebagai pendidik sedikit bergeser ke tugas administrator.
Bahkan, tugas administrator tersebut sering mengalahkan tugas utama sebagai seorang guru. Ini kemudian menjadi salah satu celah terjadinya perundungan maupun kekerasan lain yang dilakukan murid di sekolah. Untuk mengatasi masalah tersebut, tidak ada jalan lain selain pengadaan tenaga administrasi sekolah sehingga guru kembali fokus pada tugas pokok dan fungsinya.
Guru dan rapor pendidikan
Sebagai seorang guru terkadang masih kebingungan dalam memahami maksud dari ringkasan rapor pendidikan. Sebagai salah satu contoh di ringkasan rapor pendidikan tertulis, ”numerasi dan literasi mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun demikian kualitas pembelajaran adalah indikator dengan pencapaian terendah yang salah satunya disebabkan rendahnya metode pembelajaran”.
Dari ringkasan rapor pendidikan tersebut sebenarnya menimbulkan pertanyaan bagi saya, bagaimana bisa rendahnya penggunaan metode pembelajaran dapat meningkatan numerasi dan literasi siswa? Bukankah metode pembelajaran itu disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik sekolah?
Metode pembelajaran yang baik adalah metode yang sesuai kebutuhan belajar murid. Percuma ketika memakai metode pembelajaran yang dianggap ”keren” dan menarik, tetapi itu tidak sesuai dengan kebutuhan murid. Jangan sampai ujung-ujungnya guru direkomendasikan untuk mengakses dan menyelesaikan kegiatan pelatihan tentang metode pembelajaran di PMM yang belum tentu relevan dengan kebutuhan dan karakter belajar murid di sekolah.
Guru jangan dipaksa menghafalkan berbagai macam metode dan model pembelajaran. Biarkan guru dan murid menemukan metodenya sendiri saat pembelajaran di kelas.
Angka statistik kunjungan ke sebuah platform tampaknya menjadi alat ukur keberhasilan bagi pemangku kebijakan meskipun itu belum tentu berpengaruh terhadap peningkatan kualitas manusianya. Padahal keberhasilan pendidikan tidak cukup diukur dengan angka statistik, tetapi kualitas manusianya juga menjadi capaian yang jauh lebih penting.
Harapan guru yang merdeka sesuai janji pada pidato Mendikbudristek empat tahun silam tampaknya belum ada kabar baik di ujung senja masa jabatannya. ”Guru merdeka” ternyata masih menjadi sebuah penantian yang tak berujung.
Penulis, Eri Hendro Kusuma