Opini, Edarinfo.com– ”Negeri Opera Sabun”. Itu judul esai di harian Kompas, 24 Agustus 2023, yang ditulis Romo Angga Indraswara SJ. Mahasiswa doktoral Ilmu Politik dari The London School of Economics and Political Science ini sedang melakukan penelitian lapangan di Indonesia.
Dalam esainya, Angga mencoba menangkap fenomena politik kontemporer yang sedang terjadi belakangan ini. Angga menulis demikian, ”Apabila ini yang terus terjadi, Pemilu 2024 hanya akan menjadi sebuah opera sabun kolosal yang tak akan banyak mengubah nasib kebanyakan warga. Boleh jadi, ini mungkin tetap lebih baik daripada hidup di bawah rezim otoriter. Namun, nasib sebuah negeri tentu terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya pada seorang individu atau partai….”
Rakyat memang terasa seperti penonton menyaksikan panggung wira-wiri elite politik. Elite politik loncat dari kiri ke kanan. Putar ke kiri, putar ke kanan. Pindah dari satu partai ke partai lain. Dipecat dari satu partai pindah ke partai lain. Hari ini berlabuh ke partai A, besok sudah pindah ke partai B.
Ikrar Nusa Bhakti menulis esai Akrobat Politik di Kompas, Jumat, 25 Agustus 2023, juga menangkap gejala perpindahan paham politik (political belief) dan tren berpindah haluan politik. Dan, itu semua semata-mata karena gagalnya negosiasi politik. Negosiasi untuk perjuangan, ”siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya”. Khas dengan kredo politik Harold D Lasswell, ilmuwan politik terkemuka asal Amerika Serikat.
Dalam demokrasi dol-tinuku yang mewujud dalam politik wira-wiri itu, rakyat seakan ditinggalkan. Demokrasi dol-tinuku kian ketat seiring dengan tingginya ambang batas pencalonan presiden minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya. Angka itu berulang kali digugat ke MK dan MK menyatakan bahwa itu adalah open legal policy.
Karena persyaratan ambang batas pencalonan presiden itulah partai politik mentransaksikan ”karcis politik” untuk menjadi capres atau cawapres. Parpol meningkatkan posisi tawar dan menempatkan kadernya menjadi capres atau cawapres atau sejumlah kursi kabinet. Logistik politik pun jadi negosiasi. Jadi, jika mengutip Winston Churchill, ”Politik itu bukan permainan. Itu bisnis yang serius.” Saya mengutip Churchill dari buku Read, Life, Love (2023) yang ditulis Pongki Pamungkas.
Ketika politik menjadi begitu pragmatis dan transaksional, saya teringat pada apa yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi (1869-1948) tentang tujuh dosa sosial. Politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan peribadatan tanpa pengorbanan.
Dalam situasi politik yang pragmatis dan transaksional, sangatlah wajar jika rakyat, si empunya kedaulatan, dipinggirkan. Di Jabodetabek, warga berjibaku mengatasi polusi udara yang tak kunjung teratasi. Sebagian warga di Sleman, DI Yogyakarta, direpotkan dengan urusan pembuangan sampah. Dalam grup Whatsapp Sonjo yang dikelola dosen UGM Rimawan Pradiptyo, warga berembuk dan mencari cara sendiri bagaimana mengatasi sampah di sekitarnya. Di daerah terluar, bagaimana warga pinggiran harus berjibaku menyeberang laut untuk memperoleh akses kesehatan, sementara sinyal telepon tersendat-sendat karena dananya dikorupsi.
Politik wira-wiri belum menjawab problem kemasyarakatan. Korupsi tetap merajalela dan menggerus modal sosial bangsa. Di tengah kondisi politik sedang membutuhkan banyak dana, petinggi hukum malah memerintahkan penghentian pengusutan kasus korupsi yang melibatkan peserta pemilu sampai Pemilu 2024 usai. Jangan sampai pesan ini ditangkap sebagai silakan mengambil dana karena tak ada lagi penyelidikan kasus korupsi. Padahal, dalam sejarahnya, kejahatan keuangan terjadi periodik setiap lima tahun. Mulai dari BLBI, Bank Bali, Century, kasus pembobolan Bank BNI dengan tokoh Maria Pauline Lumowa, dan kejahatan asuransi diduga terjadi terkait dengan pemilu.
Politik wira-wiri bisa mengganggu konsentrasi elite menyelesaikan masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Politik wira-wiri bisa mengganggu soliditas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Setelah capres-cawapres diumumkan dan didaftarkan ke KPU, ada aturan dalam UU Pemilu yang berbunyi demikian: Pejabat negara yang dicalonkan partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wapres harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Namun, pasal tersebut telah dikoreksi oleh MK. MK menanggapi uji materi yang diajukan Partai Garuda dan memutuskan, menteri yang mau menjadi capres tak perlu mundur, tetapi cukup dengan izin Presiden.
Artinya, jika sejumlah menteri Presiden Jokowi, apakah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri BUMN Erick Thohir, ataukah Menteri Pariwisata Sandiaga Uno maju sebagai capres atau cawapres, tentunya harus mendapatkan izin Presiden. Potensi konflik kepentingan terjadi. Konsentrasi kabinet pun bakal terbelah.
Kabinet juga akan kurang konsentrasi seandainya dua menteri dari Partai Nasdem, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, ikut berkampanye. Soliditas kabinet akan hiruk pikuk seandainya ada menteri maju sebagai caleg, seperti Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang maju dari PKB atau Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dari PDI-P.
Rasanya masyarakat sipil perlu mengisi kekosongan narasi kepublikan, menyusun peta jalan bersama, merumuskan tantangan bangsa, menyusun agenda bersama, dan meminta partai politik atau capres menjawab agenda publik yang dibayangkan masyarakat sipil.
Penulis, Budiman Tanuredjo