Jakarta, Edarinfo.com – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) menilai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon masih jauh dari jalur yang seharusnya. Dengan kebijakan energi yang berlaku saat ini, puncak emisi karbon Indonesia yang semestinya dicapai pada tahun 2030 diprediksi mundur hingga 2037.

Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, mengatakan mundurnya target tersebut merujuk pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060. Dokumen itu menyebutkan produksi listrik dari PLTU diperkirakan mencapai puncaknya pada 2037, atau tujuh tahun lebih lambat dari proyeksi dalam Long Term Strategy – Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

“Target puncak emisi sektor energi Indonesia ditetapkan mundur tujuh tahun. Padahal, semestinya kita sudah mulai menurunkan emisi sebelum 2030 agar selaras dengan target global pembatasan suhu 1,5 derajat Celsius,” ujar Syaharani dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (14/10/2025).

Ia menambahkan, Kebijakan Energi Nasional (KEN) masih menunjukkan dominasi energi fosil hingga 79 persen dalam bauran energi 2030. Kondisi ini, kata dia, menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap batu bara. “Target penurunan emisi karbon Indonesia dengan proyeksi Business as Usual (BAU) pada 2030 justru masih mencerminkan kenaikan emisi sebesar 148 persen dibandingkan 2010,” katanya.

Syaharani juga menyoroti belum adanya target yang jelas untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022. Padahal, sektor energi merupakan penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia. “Jika target ENDC saat ini terpenuhi sekalipun, Indonesia masih menghasilkan emisi signifikan yang berpotensi melampaui ambang batas kenaikan suhu global,” ujarnya.

Indonesia Belum Serahkan Dokumen SNDC

Menjelang Conference of the Parties (COP) ke-30 pada November 2025, Indonesia belum menyerahkan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Padahal, tenggat penyerahan dokumen tersebut telah berakhir pada September 2025.

Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, Tri Purnajaya, menyatakan pemerintah masih memfinalisasi dokumen SNDC tersebut. Ia optimistis Indonesia akan segera menyerahkannya.

“Komitmen Indonesia harus diselaraskan dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Kita perlu realistis karena masih banyak negara lain yang juga belum menyerahkan dokumen SNDC,” kata Tri.

Keadilan Iklim dan Partisipasi Publik

Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim, Torry Kuswardono, menegaskan kebijakan iklim seharusnya berpihak kepada masyarakat, terutama kelompok rentan. Menurutnya, langkah mitigasi dan adaptasi yang dilakukan pemerintah tidak boleh justru melemahkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

“Sepuluh tahun terakhir, pada tingkat akar rumput, terjadi pelemahan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim,” ujar Torry yang juga Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Ia mencontohkan praktik hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang justru memicu perebutan tanah, konflik agraria, serta pencemaran lingkungan. “Perlindungan terhadap kelompok rentan belum terlihat dalam kebijakan perubahan iklim nasional,” tambahnya.

Torry juga menyoroti minimnya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Menurutnya, mekanisme konsultasi publik masih bersifat formalitas. “Kadang diumumkan hari ini akan ada partisipasi publik, besok kebijakan sudah disahkan. Itu bukan partisipasi bermakna, tapi tokenisme,” katanya.

Ia mendorong pemerintah agar fokus pada proyek mitigasi dan adaptasi yang bersifat lokal dan inklusif. “Komunitas lokal tahu apa yang mereka butuhkan. Jangan sampai proyek besar seperti ketahanan pangan justru membabat hutan yang menjadi sumber ketahanan ekologis,” ujarnya.

Desakan Perkuat Komitmen Iklim

JustCOP mendesak pemerintah untuk segera memperkuat target penurunan emisi dalam SNDC dan memastikan strategi dekarbonisasi dijalankan secara adil. Menurut koalisi tersebut, penundaan aksi hanya akan memperburuk dampak pemanasan global yang kini sudah dirasakan melalui bencana iklim ekstrem di berbagai wilayah.

“Waktu kita semakin sedikit. Menunda aksi iklim sama saja mempercepat krisis,” kata Syaharani. (*)