Opini, Edarinfo.com – Besarnya anggaran pendidikan tidak otomatis menjamin kualitas tata kelola. Hal ini tercermin dalam pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Kabupaten Takalar. Data Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tahun 2024 menunjukkan Dana Transfer Khusus, DAK Non Fisik BOS mencapai Rp161,94 miliar, melampaui target anggaran Rp160,36 miliar. Namun, capaian fiskal ini berbanding terbalik dengan masih ditemukannya persoalan klasik: pengelolaan yang tidak tertib.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kembali mengemuka menegaskan bahwa penggunaan Dana BOS belum sepenuhnya mengikuti mekanisme non-tunai, serta masih terdapat kelemahan dalam penatausahaan dan pelaporan keuangan sekolah. Fakta ini tidak bisa lagi dipandang sebagai kesalahan teknis semata, melainkan sebagai indikator lemahnya fungsi pengawasan Dinas Pendidikan Kabupaten Takalar.

Sebagai instansi teknis, Dinas Pendidikan memiliki mandat strategis: memastikan setiap rupiah Dana BOS digunakan sesuai regulasi, tepat sasaran, dan berdampak pada mutu layanan pendidikan. Namun ketika ratusan sekolah 239 SD, 43 SMP, 43 satuan pendidikan kesetaraan, dan 226 PAUD masih menghadapi persoalan ketertiban administrasi, pertanyaan yang layak diajukan adalah: sejauh mana Dinas Pendidikan menjalankan perannya sebagai pengendali dan pembina?

Belanja Dana BOS tahun 2024 menunjukkan alokasi signifikan, terutama pada Belanja Barang dan Jasa sebesar Rp41,06 miliar dan Belanja Modal Peralatan dan Mesin sebesar Rp3,47 miliar. Anggaran sebesar ini tidak hanya menuntut akuntabilitas sekolah, tetapi juga kecakapan Dinas Pendidikan dalam membangun sistem pengawasan yang preventif, bukan sekadar reaktif setelah temuan audit muncul.

Instruksi Bupati Takalar sebagai tindak lanjut rekomendasi BPK memang penting. Namun, instruksi tanpa transformasi sistem hanya akan menjadi dokumen administratif. Masalah Dana BOS di Takalar menunjukkan bahwa pembinaan selama ini cenderung bersifat formalistik rapat, surat edaran, dan imbauan tanpa disertai evaluasi berbasis risiko dan sanksi yang konsisten.

Lebih jauh, lemahnya tata kelola Dana BOS berpotensi menimbulkan kerugian sosial yang lebih besar: terganggunya layanan pendidikan, menurunnya kepercayaan publik, serta terbukanya ruang penyimpangan anggaran. Dalam konteks ini, Dinas Pendidikan tidak boleh lagi berlindung di balik dalih keterbatasan sumber daya atau kesalahan individu kepala sekolah.

Beberapa Rekomendasi Kebijakan yang saya sarankan yakni : Pertama, Dinas Pendidikan Kabupaten Takalar perlu membangun sistem pengawasan BOS berbasis digital dan risiko, bukan sekadar verifikasi laporan manual. Sekolah dengan riwayat temuan berulang harus masuk kategori pengawasan khusus. Kedua, pembinaan kepala sekolah dan bendahara BOS harus bersifat wajib dan berjenjang, disertai evaluasi kompetensi pengelolaan keuangan. Ketidakmampuan mengelola BOS seharusnya menjadi indikator kinerja, bukan ditoleransi sebagai kekurangan teknis.Ketiga, penegakan sanksi administratif harus konsisten dan transparan. Tanpa sanksi nyata, rekomendasi BPK akan terus berulang setiap tahun anggaran.Keempat, pelibatan publik dan masyarakat sipil dalam pemantauan Dana BOS perlu diperluas. Transparansi penggunaan BOS di tingkat sekolah harus mudah diakses, tidak eksklusif dalam laporan internal pemerintah.

Pada akhirnya, Dana BOS bukan sekadar instrumen anggaran, melainkan cermin tata kelola pendidikan daerah. Jika Dinas Pendidikan Kabupaten Takalar gagal menjawab tantangan ini, maka yang dipertaruhkan bukan hanya opini audit, tetapi masa depan pendidikan anak-anak Takalar.

Memasuki tahun 2026, pengelolaan Dana BOS di Kabupaten Takalar tidak boleh lagi ditoleransi dengan pendekatan permisif. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya untuk memperbaiki sistem, tetapi juga untuk mengungkap dan menindak oknum-oknum yang menyalahgunakan Dana BOS demi kepentingan pribadi atau kelompok. Setiap rupiah Dana BOS adalah hak peserta didik, bukan ruang kompromi bagi praktik manipulasi, kelalaian yang disengaja, apalagi penyelewengan anggaran. Pembiaran terhadap pelanggaran, sekecil apa pun sama artinya dengan merampas hak anak atas pendidikan yang layak.

Tahun 2026 harus menjadi momentum penegasan sikap: tidak ada lagi toleransi terhadap oknum kepala sekolah, bendahara, maupun pihak mana pun yang menyimpang dari ketentuan pengelolaan Dana BOS. Evaluasi tidak boleh berhenti pada laporan, tetapi harus berujung pada akuntabilitas personal dan kelembagaan. Dinas Pendidikan Kabupaten Takalar dituntut keluar dari zona nyaman administratif dan berani bersikap tegas, karena lemahnya pengawasan sama berbahayanya dengan praktik penyelewengan itu sendiri.

Jika pengelolaan Dana BOS masih diperlakukan sebagai rutinitas anggaran tanpa integritas, maka kerusakan yang ditimbulkan bukan sekadar pada laporan keuangan, melainkan pada kepercayaan publik dan masa depan pendidikan daerah. Tahun 2026 harus menjadi garis batas: antara pembenahan serius atau pembiaran sistemik. Negara tidak boleh kalah oleh oknum, dan pendidikan tidak boleh menjadi korban dari ketidakberanian menegakkan aturan.

 

Penulis, Susi Susanti (Eks Ketua Kohati Cabang Takalar, sekarang ini menjabat sebagai Ketua Bidang PSDO Korps HmIwati Badko Sulsel)