Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Senin, (29/12/2025) menggelar sidang dengan agenda pembacaan bantahan. Pembacaan disampaikan oleh jaksa penuntut umum terhadap eksepsi (nota keberatan) yang telah diajukan oleh para terdakwa melalui penasihat hukumnya. Terdakwa tersebut ialah Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim, dan Khariq Anhar.
Sidang berlangsung sekitar pukul 10.30 hingga 12.30 WIB dan dihadiri sekitar 50 orang yang didominasi oleh masyarakat sipil. Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa. JPU menilai unggahan kolaborasi dari masing-masing pemilik akun, seharusnya diajukan sebagai materi pokok pengadilan, bukan eksepsi.
“Unggahan yang di dalam eksepsi masuk ke materi pokok perkara, bukan di eksepsi,” lugas salah satu JPU yang mendasari penolakan terhadap eksepsi terdakwa.
Selain itu, keberatan juga disampaikan oleh JPU. Keberatannya yaitu mengenai brutalitas aparat yang terdapat dalam eksepsi. Kedua JPU menyampaikan bahwa diperlukan melihat keadaan yang faktual. Dalam eksepsi disampaikan pula bahwa telah terjadi kriminalisasi para pejuang hak asasi manusia (terdakwa). Namun, JPU mengatakan bahwa hal itu harus dibuktikan terlebih dahulu.
Bagaimana Tanggapan Tim Advokasi untuk Demokrasi?
Merespon hal itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyampaikan bahwa tanggapan JPU hanya bersifat pengulangan yang mengarahkan pada proses pembuktian.
“Hari ini kita dengar bahwa tanggapan atau respon terhadap nota keberatan, hanya bersifat pengulangan. Mengarahkan pada proses pembuktian,” ujar salah satu penasihat hukum terdakwa.
Mereka menilai bahwa JPU tidak melihat konteks sosial-politik saat itu.
“Salah satu pengemudi ojek online yang berpulang karena mobil aparat keamanan itu menimbulkan kemarahan warga negara. Tanggapan (JPU) hari ini hanya menitikberatkan bukti seharusnya di pokok perkara. JPU luput dari aspek-aspek kemerdekaan, atas tindakan yang seharusnya dilindungi,” ungkap salah satu penasihat hukum terdakwa.
Judianto sebagai penasihat hukum terdakwa menyampaikan kesannya mengenai persidangan ini.
“(Pengadilan ini) mengadili pikiran dan kebebasan berpendapat. Ada hak yang seharusnya diperjuangkan.”
Para penasihat hukum juga menilai bahwa terdapat ketidakbijaksanaan dari majelis hakim dikarenakan terdakwa tidak diperbolehkan untuk berbicara.
“Kami juga melihat ada ketidakbijaksanaan. Di akhir, para terdakwa perlu untuk berbicara dan majelis hakim tidak memberi kesempatan bagi terdakwa. Hakim bentuk ketidakbijaksanaannya (dengan) walkout.”
Cederanya Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Usman Hamid dari Amnesty Internasional Indonesia menyampaikan bahwa penahanan terhadap para tahanan politik (terdakwa) berdampak bagi mereka, keluarganya, dan iklim demokrasi itu sendiri.
“Dampak dari penahanan (yaitu) kemerdekaan mereka dan keluarga mereka sendiri. Perkara ini mencederai demokrasi. Tahun (ini) gelap bagi Hak Asasi Manusia (HAM). Tahun malapetaka nasional.”
Ia menyampaikan bahwa catatan dari Amnesty terdapat 4000 orang yang ditangkap sepanjang aksi tahun 2025. Sementara yang ditetapkan sebagai tersangka berjumlah 1000 orang.
“Penangkapan sewenang-wenang telah terjadi di sana,” ungkapnya.
Pengungkapan Pikiran Para Tahanan Politik dan Solidaritas Masyarakat Sipil
Pasca majelis hakim dan JPU keluar dari ruang sidang, keempat tahanan politik tersebut menyampaikan kesan selama persidangan serta isi pemikirannya.
“Kami mencintai keadilan, melihat banyak persoalan-persoalan luas. Pada dasarnya negara ini dibangun dengan konsep kesejahteraan, keadilan, dan berpihak pada kaum-kaum yang tertindas,” tegas Syahdan sambil mengangkat buku yang digenggamnya.
Sontak masyarakat sipil yang berada di ruang sidang meneriakkan, “Hidup rakyat!”
Ia melanjutkan bahwa penjara adalah kewajaran bagi mereka yang melawan di bawah kelas penguasa yang menindas. Terakhir, ia menyampaikan bahwa sekali perlawanan, tetaplah perlawanan.
Sahutan masyarakat mengiringi orasi dari Syahdan yang berbunyi, “Semakin ditekan, semakin melawan!”
Delpedro menyampaikan bahwa kejaksaan seharusnya melihat kasus ini bukan hanya perkara empat orang. Melainkan, perkara ratusan jiwa republik warga negara ini. Ia menjelaskan bahwa pada Agustus lalu, terdapat tragedi kemanusiaan. Hal itu yang membawa mereka kepada kasus di persidangan ini. Menguraikan kasus ini, bahwa mereka berempat masing-masing mempunyai akun media sosial bagi publik. Hal ini mereka gunakan untuk mengajak publik berdemonstrasi sebagai bentuk kebebasan berekspresi atas kondisi sosial-politik seperti yang telah dijelaskan di atas.
“Jaksa mempersempit (maknanya) bahwa keempat orang melakukan tindak piana. Padahal, peran kami di sini untuk membantu negara membongkar: Siapa sebenarnya dalang atas peristiwa Agustus tersebut?” kritik Delpedro.
Dalam persidangan ini, JPU terus-menerus mengulang kata pembuktian. Delpedro menyampaikan responnya.
“Jika pada Maret (nanti) dilakukan pembuktian, namun kita tidak terbukti bersalah, siapa yang akan mengganti itu semua?”
Ia juga menegaskan bahwa mereka juga tidak mendapat jawaban terkait surat penangguhan penahanan.
“Lantas, apa gunanya KUHAP untuk mengatur hal itu? Kalau jawabannya berlarut-larut, sama saja kami menjalani masa tahanan.”
Tak hanya orasi, Khariq juga menyuarakan puisinya tentang Laras yang juga sebagai tahanan politik. Ia ditangkap karena dianggap kepolisian memengaruhi publik di media sosialnya untuk berdemonstrasi atas salah satu korban yang berpulang saat aksi.
“Seumpama bunga, Laras adalah bunga yang tumbuh di pekarangan kemajuan bangsa. Ia mawar berduri, menebar harum sambil terus berlindung. Seumpama wayang, Laras adalah srikandi yang tak gentar di hadapan penguasa bengis.”
Di akhir, Delpedro menyampaikan kesepakatan mereka berempat. Bahwa sebagai sikap politiknya pada awal tahun nanti, mereka akan mogok makan sampai persidangan berakhir. Hal itu sekaligus sikap terhadap hakim yang tidak menangguhkan mereka.
Salah satu di antara mereka, Muzaffar menyampaikan pernyataannya.
“Di sini, imajinasi yang berkuasa. Imajinasi menjadikan tempat ini sebagai tempatnya fakta dan kebenaran!”
Sontak dukungan kepada Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim, dan Khariq Anhar menggema di ruang persidangan. Masyarakat yang menghadiri persidangan keluar ruangan sambil berbincang-bincang sebagai bentuk kolektif solidaritas.
![Para tahanan politik: Delpedro, Muzaffar, Syahdan, Khariq bersama Usman Hamid (tengah) di ruang sidang (Senin/29/12/2025) [sumber: penulis]](https://edarinfo.com/wp-content/uploads/2025/12/sidang-pn-jakpus.jpg)