Makassar, Edarinfo.com – Proses penegakan hukum dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang menjerat seorang dosen di Makassar kembali menjadi sorotan, Pada Hari Jumat (19/12/2025).
Khaeruddin, tersangka dalam perkara pelecehan seksual terhadap mahasiswinya, diduga melarikan diri menjelang pelimpahan tahap II ke Kejaksaan Negeri Makassar.
Informasi tersebut mencuat setelah Tim Pendamping Hukum korban mempertanyakan perkembangan penanganan perkara kepada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Sulawesi Selatan pada 10 Desember 2025. Dari keterangan penyidik, tersangka disebut tidak lagi diketahui keberadaannya.
Pendamping Hukum Korban, Mirayati Amin, mengungkapkan bahwa tersangka sebelumnya dua kali dipanggil oleh Jaksa Penuntut Umum, namun tidak memenuhi panggilan dengan alasan sakit dan pulang ke kampung halaman di Kabupaten Bone. Setelah itu, komunikasi dengan tersangka terputus.
“Hingga saat ini, keberadaan tersangka tidak diketahui, baik oleh penyidik, pihak keluarga, maupun penasihat hukumnya,” ujar Mirayati.
Dalam proses penyidikan, tersangka sempat ditahan, namun kemudian memperoleh penangguhan penahanan setelah mengajukan permohonan melalui kuasa hukum. Statusnya pun berubah menjadi tahanan kota. Kondisi ini dinilai membuka celah bagi tersangka untuk menghindari proses hukum.
Tim Pendamping Hukum Korban dari LBH Makassar juga telah mengirimkan surat desakan percepatan penanganan perkara kepada Kejaksaan Negeri Makassar. Namun hingga kini, belum ada tanggapan resmi yang diterima.
Saat dikonfirmasi, Jaksa Penuntut Umum menyampaikan bahwa pelimpahan berkas dan penyerahan tersangka belum dapat dilakukan karena fokus penanganan perkara lain. Alasan tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan hak korban atas keadilan yang cepat.
“Kami menilai lambannya penanganan perkara ini berkontribusi pada hilangnya tersangka dan berpotensi memperpanjang penderitaan korban. Kami mendesak penyidik agar segera menetapkan tersangka sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO),” tegas Mirayati.
Selain proses hukum yang berjalan lambat, korban juga menghadapi tekanan psikologis dari lingkungan akademik. Mengingat tersangka merupakan dosen di kampus yang sama, korban berisiko mengalami viktimisasi berulang akibat ketidakjelasan status hukum pelaku.
Korban mengaku kecewa terhadap respons pihak kampus yang dinilainya lamban dalam memberikan perlindungan.
“Saya hanya ingin merasa aman saat belajar. Tapi prosesnya lama dan berbelit. Seolah kampus tidak berpihak kepada saya,” tuturnya.
Sebagai respons, LBH Makassar sebelumnya telah melayangkan laporan dugaan pelanggaran etik dan disiplin dosen kepada Rektor Universitas Negeri Makassar, Pada Hari Rabu (06/08/2025). Surat tersebut kemudian dijawab pihak kampus dengan keterangan bahwa terlapor diberhentikan sementara selama proses hukum berlangsung, tanpa penjelasan lebih lanjut terkait langkah konkret penanganan etik.
Hingga rilis ini diterbitkan, pihak Universitas Negeri Makassar belum memberikan pernyataan tambahan. Sikap tersebut memunculkan pertanyaan publik terkait komitmen institusi pendidikan dalam menciptakan ruang aman dan berpihak pada korban kekerasan seksual.