Opini, Edarinfo.com – Banjir yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat dalam waktu hampir bersamaan kembali memperlihatkan rapuhnya sistem mitigasi bencana kita. Genangan yang menenggelamkan permukiman, rusaknya infrastruktur dasar, dan lumpuhnya aktivitas warga bukan hanya menunjukkan besarnya curah hujan di penghujung tahun, tetapi sekaligus menegaskan kegagalan tata kelola risiko yang telah berlangsung lama.

Sebagai jurnalis yang turut merasakan dampaknya di Aceh mulai dari pemadaman listrik hingga hambatan komunikasi saya melihat langsung bahwa bencana ini bukan semata gejala alam, melainkan hasil akumulasi persoalan struktural yang tak kunjung dibenahi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa ketiga provinsi tersebut termasuk wilayah dengan frekuensi banjir tinggi dalam satu dekade terakhir. Faktor pemicunya relatif serupa: curah hujan ekstrem, tingginya tingkat sedimentasi sungai, serta penurunan kualitas lingkungan akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Namun pola ini bukan kasus regional semata; secara nasional, intensitas dan cakupan banjir terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Data ini memperlihatkan bahwa persoalan mitigasi di Indonesia bersifat sistemik dan tidak bisa dipandang sebagai peristiwa tunggal yang datang dan pergi.

Pengalaman di tiga provinsi terdampak mempertegas bahwa masalah terbesar bukan pada kejadian banjir itu sendiri, melainkan pada lemahnya kesiapan struktur pendukung. Ketidakteraturan tata ruang, drainase yang tersumbat dan tidak terpelihara, lemahnya pengawasan terhadap pembangunan, serta minimnya basis data risiko membuat pemerintah daerah dan masyarakat selalu berada dalam posisi reaktif. Infrastruktur dasar seperti listrik, akses jalan, dan jaringan telekomunikasi mudah terganggu, sehingga memperlambat proses evakuasi, penyaluran bantuan, dan distribusi informasi.

Ketergantungan pada sistem yang rentan ini membuat masyarakat berada dalam lingkaran kerentanan yang terus berulang.

Konteks tiga provinsi juga memperlihatkan bahwa bencana tidak mengenal batas administratif. Sungai lintas kabupaten, pola hujan regional, dan kerusakan hulu yang sering kali terjadi jauh dari lokasi banjir membutuhkan kebijakan lintas wilayah yang terintegrasi. Namun hingga kini, koordinasi antara pemerintah daerah belum sepenuhnya berjalan efektif.

Kelemahan komunikasi kebijakan, perencanaan jangka panjang yang tidak berkesinambungan, serta rendahnya edukasi publik mengenai pengurangan risiko bencana turut memperburuk keadaan. Situasi yang saya alami di Aceh, ketika jaringan komunikasi sempat terputus dan menghambat penyebaran informasi, menjadi refleksi kecil dari masalah nasional yang jauh lebih besar.

Banjir beruntun di Sumut, Aceh, dan Sumbar seharusnya menjadi peringatan keras bahwa mitigasi bencana tidak boleh lagi dipandang sebagai program tambahan dalam pembangunan daerah. Ia adalah fondasi yang menentukan keselamatan warga.

Pemerintah daerah perlu memperkuat tata ruang berbasis risiko, memperbaiki infrastruktur drainase, serta menegakkan regulasi lingkungan secara konsisten. Selain itu, kolaborasi antarprovinsi dan antarinstansi harus diperkuat melalui sistem peringatan dini yang terintegrasi dan mudah diakses. Masyarakat pun perlu dilibatkan dalam edukasi berkelanjutan agar memahami risiko di sekitarnya dan mampu mengambil langkah cepat ketika situasi darurat terjadi.

Pada akhirnya, banjir bukan hanya menguji infrastruktur fisik, tetapi juga menguji keseriusan politik dalam melindungi warganya. Tiga provinsi yang terendam hari ini adalah cermin dari pekerjaan rumah besar yang belum dituntaskan. Jika kita terus membiarkan mitigasi bersifat reaktif, maka bencana serupa hanya menunggu waktu untuk kembali datang. Sudah saatnya negara menempatkan pengurangan risiko sebagai prioritas utama, bukan sebagai respons setelah kerusakan terjadi.

 

Penulis, Salsabila Indri Fitria (Jurnalis Edarinfo.com)