Makassar, Edarinfo.com – Setiap pagi, seorang perempuan berusia 22 tahun, sebut saja C (bukan nama sebenarnya), memaksa dirinya membuka mata. Bukan karena ia ingin, melainkan karena ia mencoba bertahan dari trauma kekerasan seksual yang terus menghantuinya. Luka itu bukan tampak di tubuhnya, tetapi menggerogoti jiwanya secara perlahan.

“Bangun di pagi hari dengan menghirup udara segar merupakan nikmat yang harus saya syukuri, dengan itu saya merasa bahwa saya masih berharga untuk hidup di dunia,” ujarnya.

Setahun lalu, ketika berusia 21 tahun, C mengalami kekerasan seksual oleh seseorang yang sangat ia kenal: rekan kerjanya sendiri. Ia mengingat dengan jelas sore itu, suasana sepi di depan rumah, dan detik-detik yang mengubah hidupnya.

“Trauma itu seperti virus yang terus bermutasi,” katanya. Wajah pelaku masih muncul di mimpi buruknya setiap malam, mengulang kembali kepedihan yang sama.

“Menjadi korban pelecehan memang tidak mengenakkan, dicap kotor dan buruk oleh orang-orang sudah menjadi hal biasa bagi saya,” lanjutnya.

Usai kejadian, C pulang dengan perasaan hancur yang sulit ia jelaskan. Rasa kecewa, kotor, dan takut melekat hingga sekarang. Untuk melampiaskan emosi, ia menangis, menyakiti dirinya sendiri, dan sempat kehilangan harapan untuk hidup.

“Rasa takut, malu, marah dan kosong menjadi satu, membuat saya merasa tidak pantas untuk hidup,” ucapnya.

Trauma itu berkembang menjadi PTSD berat. C sering mengalami flashback secara tiba-tiba hingga tubuhnya gemetaran dan pikirannya “ribut” karena ingatan kejadian tersebut. Saat berkendara, ia beberapa kali menabrak sesuatu karena halusinasi membuatnya merasa pelaku ada di hadapannya.

Ia juga didiagnosis mengalami gangguan kecemasan (anxiety). Keramaian membuatnya tidak nyaman, bahkan memicu sesak napas dan rasa takut berlebih.

C mengaku pernah mencoba mengakhiri hidupnya. Ia juga beberapa kali melakukan self-harm dengan menggores tangannya untuk meredam emosi negatif.

C memilih menjalani terapi psikiater tanpa sepengetahuan keluarganya. Ia takut membuat mereka kecewa. Hanya satu teman dekat yang ia percaya untuk berbagi cerita.

Kini, ia melanjutkan studi di luar kota. Keputusan itu ia ambil untuk mencari suasana baru dan menjauh sejenak dari bayang-bayang kejadian tersebut. Namun lingkungan baru tidak serta-merta membuat traumanya hilang. Setiap interaksi dengan laki-laki, terutama yang terlalu akrab atau mendekat terlalu cepat, memicu reaksi tubuh: jantung berdebar, napas tak beraturan, dan kilasan ingatan kembali muncul.

“Saya belajar mengenali trigger saya satu per satu,” katanya. “Tapi kadang tetap saja kalah.”

Meski berat, perlahan C mulai menemukan ruang aman. Ia bertemu beberapa teman yang membuatnya nyaman. Untuk pertama kalinya, ia mendengar kalimat “ini bukan salahmu” diucapkan berulang-ulang sampai ia mulai mempercayainya sedikit demi sedikit.

Saat ini, ia masih rutin menjalani terapi. Ada sesi yang membuatnya menangis hingga kehabisan tenaga, ada pula sesi yang ia lalui dalam diam. Namun setelah beberapa bulan, flashback mulai berkurang. Mimpi buruk memang masih datang, tetapi tidak sesering dulu.

“Saya belum sembuh total,” akunya, “tapi setidaknya sekarang saya sudah tidak takut lagi membuka mata tiap pagi. Kadang saya bahkan bisa tersenyum pada cermin tanpa merasa menipu diri sendiri.”

Di kampus, beberapa teman mengetahui sebagian kisahnya. Mereka tidak memaksa bertanya, hanya menemani ketika C tiba-tiba diam atau menjauh. Flashback masih muncul, tetapi sudah tidak setiap hari.

Setiap pagi, C berpegangan pada satu kalimat yang ia ulang seperti mantra: “Bangun dan menghirup udara segar adalah nikmat yang harus kusyukuri, setidaknya itu berarti aku masih berharga untuk tetap ada di dunia ini.”

Di balik senyum tipis yang ia tunjukkan pada orang-orang terdekat, ia tahu perjuangannya belum selesai. Luka di tangan masih bertambah, mimpi buruk belum sepenuhnya pergi. Namun untuk pertama kalinya setelah setahun gelap, ia mulai percaya bahwa suatu hari nanti ia bisa sembuh, bukan karena melupakan kejadian itu, tetapi karena berani memaafkan dirinya yang pernah merasa tidak layak hidup.

“Trauma yang saya alami mungkin sangat besar dan meninggalkan luka yang membekas, tapi itu tidak menjadi alasan saya untuk menyerah. Luka itu akan jadi tanda bahwa di sini pernah ada perang dan sekarang sayalah yang menang karena berhasil bertahan dan bangkit,” tuturnya.

Laporan Penulis: Assipa Salsabila Arsyad