Tana Toraja, Edarinfo.com – Polemik antara komika Pandji Pragiwaksono dan masyarakat Toraja bukan sekadar soal humor yang kebablasan. Ini adalah cermin bagaimana ruang publik digital hari ini sering kali abai terhadap sensitivitas budaya, terutama terhadap tradisi yang bagi sebagian orang adalah identitas dan kehormatan.
Candaan Pandji dalam salah satu penampilannya, yang menyinggung prosesi adat Rambu Solo’, dianggap melecehkan nilai-nilai sakral dalam budaya Toraja. Lembaga adat Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) pun bereaksi keras, menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran adat dan menuntut pertanggungjawaban.
“Ini sudah masuk pelanggaran adat. Jadi perlu ada sanksi secara adat juga,” tegas Ketua Umum TAST, Benyamin Rante Allo, Senin (3/11/2025).
Namun di balik pernyataan keras itu, tersimpan pesan yang lebih mendalam: bahwa humor bukan sekadar soal lucu atau tidak lucu, melainkan juga tentang batas etika dan rasa hormat terhadap keragaman.
Benyamin menilai candaan Pandji yang menyebut warga Toraja miskin dan mayat diletakkan di depan TV sebagai bentuk penghinaan terhadap budaya. “Pernyataan itu sangat melukai hati masyarakat Toraja. Ini menyentuh harga diri suku bangsa,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat adat bukan hanya marah karena tersinggung, tapi karena budaya mereka disalahpahami. Rambu Solo’ bukan ritual yang bisa dipandang remeh; ia adalah simbol penghormatan tertinggi bagi orang yang telah meninggal, sekaligus wujud filosofi hidup dan solidaritas sosial di Toraja.
Melalui somasi yang akan dilayangkan, TAST menuntut Pandji untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Mereka juga mengundang Pandji untuk datang langsung ke Toraja, berdialog, dan melihat sendiri makna dari adat yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat. “Datanglah dan berdialog langsung dengan kami. Jangan menilai hanya dari informasi sepihak,” ujar Benyamin.
Anggota DPR RI asal Toraja, Frederik Kalalembang, turut menyoroti persoalan ini. Ia menyebut pentingnya klarifikasi agar tidak terjadi salah paham. “Saya akan mengundang yang bersangkutan untuk menjelaskan maksud pernyataannya,” kata Frederik.
Peristiwa ini kembali mengingatkan kita bahwa di negeri yang majemuk seperti Indonesia, kata-kata bisa menjadi jembatan, tapi juga bisa menjadi jurang.
Dalam konteks ini, komedi seharusnya tak berhenti pada upaya mengundang tawa, tetapi juga mengedukasi dan memperkuat empati lintas budaya.
Mungkin benar bahwa humor adalah kebebasan berekspresi. Tapi dalam masyarakat yang kaya nilai dan tradisi, kebebasan yang bijak adalah kebebasan yang tahu batas.(*)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di detiksulsel dengan judul, “Pandji Pragiwaksono Diancam Denda 50 Kerbau Buntut Candaan Adat Toraja”