Opini, Edarinfo.com – Tulisan ini saya tulis setelah mendapat kesempatan membawakan materi bertema Islam dan IPTEK pada kegiatan Diklat Kader Dasar (DKD) yang diselenggarakan oleh teman-teman dari Ikatan Mahasiswa DDI (IMDI). Tema besar kegiatan ini, “Membangun Spirit Juang Mahasiswa DDI dalam Bingkai Pengabdian,” terasa sangat relevan dengan kondisi zaman yang kita hadapi hari ini.

DKD bukan sekadar ruang pengkaderan organisasi, tapi juga wadah pembentukan cara pandang kader terhadap dunia. Di dalamnya, para peserta tidak hanya diajak memahami nilai-nilai keislaman, tapi juga bagaimana nilai itu diterapkan di tengah perubahan zaman yang begitu cepat. Dan salah satu tantangan terbesar hari ini datang dari bidang yang paling dekat dengan kehidupan kita: ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Islam dan Tradisi Keilmuan

Sejak awal, Islam tidak pernah menolak kemajuan ilmu. Dalam Al-Qur’an, begitu banyak ayat yang mendorong umat untuk berpikir, meneliti, dan menggunakan akal. “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9). Pertanyaan retoris ini menegaskan bahwa ilmu merupakan jalan menuju kemuliaan.

Sejarah Islam mencatat masa keemasan ketika ilmu pengetahuan menjadi ruh peradaban. Di masa itu, berdirilah Bayt al-Hikmah di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Jabir Ibnu Hayyan. Mereka tidak hanya mendalami agama, tetapi juga menjadi pelopor dalam bidang matematika, kedokteran, astronomi, kimia, dan filsafat. Bagi mereka, meneliti alam semesta adalah bentuk ibadah, karena melalui ilmu mereka mengenal kebesaran Allah.

Namun, kejayaan itu tidak bertahan lama. Peradaban Islam kemudian mengalami stagnasi, dan semangat keilmuan mulai pudar. Hari ini, kita hidup di zaman di mana bangsa lain memimpin dalam sains dan teknologi, sementara umat Islam sering kali hanya menjadi konsumen. Padahal, Islam memiliki modal spiritual yang kuat untuk kembali bangkit: nilai iqra, semangat belajar tanpa henti, dan tanggung jawab moral terhadap ilmu.

Tantangan Pemuda Islam di Era Digital

Kita hidup dalam era digital, zaman yang penuh peluang sekaligus tantangan. Teknologi informasi telah mengubah hampir semua aspek kehidupan manusia: cara kita berinteraksi, belajar, bekerja, hingga beribadah. Generasi muda saat ini bisa mengakses ilmu dari seluruh dunia hanya lewat ujung jari. Namun, di balik kemudahan itu, muncul pula ancaman baru: banjir informasi, disinformasi, budaya instan, dan krisis identitas.

Banyak pemuda Muslim terjebak dalam euforia digital tanpa memahami arah dan nilai dari apa yang mereka konsumsi. Media sosial menjelma menjadi ruang yang bising, penuh kompetisi popularitas, dan sering kali jauh dari semangat tafaqquh fi al-din (memperdalam ilmu agama). Akibatnya, muncul generasi yang cerdas secara teknologi, tapi miskin orientasi spiritual.

Inilah krisis yang mesti direspon oleh organisasi kepemudaan Islam seperti IMDI. Sebagai wadah pengkaderan mahasiswa DDI, IMDI punya peran strategis untuk membangun generasi yang tidak hanya paham agama, tetapi juga adaptif terhadap perkembangan zaman. Kader IMDI harus menjadi jembatan antara nilai spiritual Islam dan rasionalitas modern.

IMDI: Merawat Spirit Juang dan Pengabdian

Semangat juang yang diusung dalam tema DKD bukan sekadar romantisme perjuangan masa lalu. Spirit itu harus diterjemahkan dalam bentuk pengabdian yang relevan dengan zaman. Di era digital, perjuangan tidak selalu dilakukan di jalanan, tetapi juga di ruang maya, ruang yang kini menentukan opini publik dan arah peradaban.

Kader IMDI harus menjadi pelopor dalam memanfaatkan teknologi untuk dakwah, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Mereka perlu hadir di media sosial bukan sekadar untuk mengikuti tren, tapi untuk menghadirkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Menulis gagasan, membuat konten edukatif, mengelola media komunitas, hingga melakukan riset sosial berbasis data, semuanya bisa menjadi bentuk pengabdian baru yang lahir dari pemanfaatan IPTEK.

Lebih jauh, IMDI perlu mendorong lahirnya kader yang berani berinovasi. Misalnya, dengan membangun platform digital yang memfasilitasi dakwah, pendidikan, atau ekonomi umat. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara nilai dan teknologi. Ilmu pengetahuan memberi kita alat, sementara Islam memberi arah dan tujuan.

Menghadirkan Islam yang Progresif

Salah satu kesalahan pandang yang sering muncul adalah menganggap bahwa Islam dan IPTEK berada di dua kutub yang berbeda. Padahal, keduanya justru saling melengkapi. Islam memberi etika dan nilai, sementara IPTEK menyediakan sarana untuk mewujudkannya. Jika dikawinkan dengan benar, keduanya bisa melahirkan peradaban yang beradab, bukan hanya maju secara teknologi, tapi juga berakar pada moral dan spiritualitas.

IMDI, dengan sejarah dan semangat pendidikannya yang lahir dari tradisi DDI, punya tanggung jawab moral untuk menjadi pelopor Islam yang progresif. Organisasi ini perlu menumbuhkan kesadaran bahwa pengabdian bukan hanya dalam bentuk ceramah dan kegiatan sosial, tapi juga melalui penguasaan ilmu dan teknologi.

Kader IMDI di masa kini harus siap menjadi problem solver bagi masyarakat, menghadirkan solusi digital untuk pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan umat. Dengan begitu, nilai pengabdian tidak berhenti pada tataran ideal, tetapi hadir dalam bentuk nyata yang menjawab kebutuhan zaman.

Pada akhirnya, refleksi tentang Islam dan IPTEK bukan sekadar pembahasan akademik, tetapi panggilan moral. Kita diingatkan bahwa kemajuan teknologi tanpa nilai spiritual akan kehilangan arah, sementara religiositas tanpa penguasaan ilmu akan kehilangan daya.

IMDI hadir di tengah zaman yang menuntut keduanya: semangat juang dan pengabdian berbasis ilmu. Di tangan kader IMDI-lah Islam bisa kembali tampil sebagai kekuatan pencerah dalam arus modernitas, bukan hanya menjaga masa lalu, tapi juga menuntun masa depan.

 

Penulis, Hamka Pakka (Jurnalis)