Opini, Edarinfo.com – Pemandangan di ruang gawat darurat sering kali menjadi saksi bisu antara hidup dan mati. Sebagai seorang dokter, saya menyaksikan sendiri betapa getirnya kenyataan bagi sebagian rakyat kecil yang datang dengan napas tersengal, tapi lebih takut pada biaya daripada penyakitnya.
Saya teringat pada seorang kepala keluarga yang terbaring lemah dengan kondisi medis mendesak, sementara istrinya berdiri di sampingnya dengan wajah panik. Ketika kami menanyakan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ia tertunduk dan berbisik lirih, “Maaf Dok, sudah lama tidak bayar, kartunya tidak aktif.”
Kalimat itu menohok seperti pisau dingin. Dalam situasi di mana detik menentukan hidup dan mati, ketidakaktifan kartu jaminan kesehatan karena tunggakan iuran menjadi tembok tebal yang menghalangi akses pengobatan optimal. Mereka dihadapkan pada pilihan tragis: biaya darurat yang mencekik atau nyawa yang melayang.
Kisah-kisah seperti ini bukan cerita tunggal. Ia adalah potret kecil dari masalah besar yang selama ini membelenggu jutaan rakyat: kesulitan ekonomi yang membuat iuran BPJS Kesehatan kerap menjadi prioritas terakhir.
Mengapa Rakyat Kecil Menunggak?
Tingginya tunggakan iuran BPJS Kesehatan, terutama dari peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP), tidak semata karena abai, tetapi karena dilema bertahan hidup. Bagi mereka yang berpenghasilan harian, uang receh yang didapat harus segera dialokasikan untuk makan, sewa kontrakan, atau biaya sekolah anak.
Iuran kesehatan, meski kecil, sering dianggap bisa ditunda. Sayangnya, penundaan itu berubah menjadi penumpukan, hingga pada akhirnya kartu menjadi tidak aktif. Kesadaran preventif pun masih rendah; sebagian baru mencari pertolongan ketika penyakit sudah parah. Akibatnya, mereka datang ke rumah sakit bukan hanya dengan tubuh sakit, tapi juga status kepesertaan yang beku.
Negara Hadir Melalui Kebijakan Pemutihan Rp 7,69 Triliun
Di tengah realita itu, keputusan Presiden menghapus tunggakan iuran JKN senilai Rp 7,69 triliun menjadi kabar yang menenangkan banyak hati. Kebijakan ini bukan hanya solusi administratif, melainkan bentuk nyata dari keberpihakan negara terhadap rakyat kecil.
Lebih dari 281 juta penduduk Indonesia kini tercatat sebagai peserta JKN, mayoritas di antaranya merupakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang biayanya ditanggung oleh APBN dan APBD. Langkah Presiden ini menegaskan kembali semangat konstitusi: bahwa setiap warga negara berhak atas jaminan sosial dan perlindungan kesehatan.
Dengan dihapusnya tunggakan, jutaan peserta nonaktif akan kembali terlindungi. Mereka tidak perlu lagi menanggung beban psikologis akibat status kepesertaan yang terblokir. Ini bukan sekadar pemutihan hutang; ini adalah pemulihan martabat.
Momentum Mengubah Pola Pikir: Dari Kuratif ke Preventif
Namun, kebijakan ini tidak boleh dipahami hanya sebagai bentuk belas kasihan pemerintah. Ia seharusnya menjadi momentum kolektif untuk memperbaiki cara kita memandang kesehatan.
Selama ini, masyarakat cenderung memandang BPJS hanya sebagai “penyelamat darurat.” Padahal, semangat di balik JKN adalah pencegahan, bukan sekadar pengobatan. Rasa syukur atas penghapusan tunggakan harus diterjemahkan menjadi tanggung jawab: membayar iuran tepat waktu, rutin melakukan pemeriksaan kesehatan, dan menjaga pola hidup yang lebih sehat.
Kesehatan tidak boleh menunggu sampai sakit. Di era di mana penyakit kronis semakin banyak mengintai, langkah preventif jauh lebih berharga daripada tindakan kuratif. Dengan pola hidup sehat dan sistem jaminan sosial yang kuat, Indonesia bisa menuju cita-cita besar: masyarakat yang sehat, produktif, dan mandiri.
Negara Sudah Hadir, Kini Giliran Rakyat Menjaga
Keputusan Presiden ini menunjukkan bahwa negara hadir bukan hanya saat rakyat sakit, tetapi juga ketika rakyat kehilangan daya untuk bertahan. Namun, keberlanjutan kebijakan ini tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah.
Partisipasi aktif masyarakat adalah fondasi utama. Membayar iuran tepat waktu bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk gotong royong modern, di mana yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang lemah.
Ketika rakyat menjaga komitmen ini, maka jaminan kesehatan nasional tidak hanya menjadi program, tetapi perwujudan nyata dari sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Negara sudah hadir untuk rakyat kecil. Kini saatnya rakyat kecil hadir untuk dirinya sendiri, dengan menjaga kesehatan, membayar iuran tepat waktu, dan menolak kembali jatuh pada tunggakan.”
Penulis, dr. Haerul Anwar (Praktisi kesehatan sekaligus tenaga medis Tim Layanan Kemanusiaan dan Ambulance Centre DPP Gerindra)