Jakarta, Edarinfo.com – Sya’ban RA dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang selalu datang ke masjid sebelum waktu salat tiba. Suatu pagi, Rasulullah SAW dan para sahabat heran karena tak melihat Sya’ban saat salat Subuh berjamaah akan dimulai. Rasulullah bahkan sempat menunda salat untuk menunggunya. Namun hingga waktu Subuh hampir habis, Sya’ban tak juga hadir, sehingga Rasulullah memutuskan tetap salat bersama sahabat.
Usai salat, Rasulullah menanyakan kabar Sya’ban. Tidak ada yang mengetahui. Beliau lalu meminta ditunjukkan rumah Sya’ban. Perjalanan menuju rumah itu memakan waktu sekitar tiga jam dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana, Rasulullah mengucap salam dan keluarlah seorang wanita, istri Sya’ban.
“Benarkah ini rumah Sya’ban?” tanya Rasulullah.
“Ya, benar. Saya istrinya,” jawab sang wanita.
“Bolehkah kami menemui Sya’ban yang tidak hadir salat Subuh di masjid pagi ini?” tanya Nabi SAW.
Dengan mata berkaca-kaca, istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, Sya’ban telah meninggal dunia pagi tadi.” Seketika para sahabat mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Istri Sya’ban lalu menceritakan sesuatu yang membuat mereka bertanya-tanya. “Menjelang wafatnya, ia berteriak tiga kali, masing-masing dengan kalimat berbeda. Kami semua tidak mengerti maksudnya.”
Rasulullah bertanya, “Apa saja kalimat yang diucapkannya?”
Istrinya menjawab, “Pertama ia berkata, ‘Aduh, mengapa tidak lebih jauh.’ Lalu, ‘Aduh, mengapa tidak yang baru.’ Dan terakhir, ‘Aduh, mengapa tidak semua.’”
Mendengar itu, Rasulullah SAW kemudian membaca firman Allah SWT:
“Sungguh, kamu dahulu benar-benar lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan penutup matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (QS Qaf: 22).
Beliau lalu menjelaskan makna ucapan Sya’ban di saat sakaratul maut. Allah memperlihatkan perjalanan hidup Sya’ban dan ganjaran amalnya.
Pertama, ia melihat dirinya yang selalu berjalan ke masjid dengan jarak tempuh sekitar tiga jam. Allah memperlihatkan surga yang disiapkan untuknya. Saat itu ia menyesal seraya berkata, “Aduh, mengapa tidak lebih jauh,” andai saja jaraknya lebih panjang sehingga pahalanya lebih besar.
Kedua, ia teringat suatu musim dingin ketika mengenakan dua lapis baju, baju baru di dalam dan baju lama di luar agar tak kotor. Di perjalanan ia mendapati seseorang kedinginan, lalu ia lepaskan baju luarnya untuk orang itu, dan memapahnya ke masjid. Allah menampakkan ganjaran besar dari amal itu hingga ia menyesal, “Aduh, mengapa tidak yang baru,” seandainya ia berikan pakaian terbaiknya.
Ketiga, ia teringat saat seorang pengemis meminta sedikit roti. Sya’ban membaginya setengah roti dan susu secara adil. Allah menampakkan pahala dari kebaikan itu hingga ia berkata, “Aduh, mengapa tidak semua,” seandainya saja ia memberikan seluruhnya, tentu pahalanya lebih besar.
Sya’ban menyesal di ujung hidupnya. Ia melihat langsung betapa setiap amal kecil yang dilakukan dengan ikhlas dibalas berlipat ganda. Ia hanya berharap bisa memberikan yang lebih jauh, lebih baik, dan lebih banyak.
Masyaallah, kisah ini mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda amal, serta memberikan yang terbaik dalam setiap kebaikan.
Wallahu a’lam.
Artikel ini telah tayang sebelumnya di detikhikmah dengan judul “Kisah Sya’ban Menyesali Sedekahnya Saat Sakaratul Maut”