Opini, Edarinfo.com – Saya menemukan pertanyaan ini dan beredar di banyak social media, seolah pertanyaan ini lahir dari luka yang dalam. Luka yang sudah terlalu lama dibiarkan terbuka, menganga tanpa obat, tanpa perhatian, tanpa keadilan. Kami, rakyat kecil, sudah terbiasa hidup dalam tekanan yang menyesakkan dada. Seolah-olah penderitaan adalah takdir yang harus kami terima begitu saja.
Kami terbiasa dengan harga kebutuhan yang terus naik, sementara upah tetap stagnan. Kami terbiasa dengan pekerjaan yang tak pasti, kontrak yang selalu digantung, dan perlindungan yang tidak pernah benar-benar hadir. Kami terbiasa dengan janji-janji manis para pemimpin yang seringkali hanya berhenti di ucapan.
Namun rupanya, semua itu belum cukup. Kami masih dianggap layak menerima tambahan beban: represi, intimidasi, bahkan ancaman terhadap nyawa. Dan puncaknya, kami kembali menyaksikan tragedi mengerikan, ketika seorang rakyat kecil meregang nyawa di bawah ban kendaraan taktis aparat.
Nyawa yang Begitu Murah
Setiap kali tragedi seperti ini terjadi, kita selalu mendengar narasi yang sama. Ada yang menyebut “tidak sengaja”, ada yang bilang “sedang bertugas”, ada pula yang menjanjikan “akan ditindak tegas”. Kata-kata itu selalu diulang, hingga kedengerannya bualan semata.
Pertanyaan pentingnya: sampai kapan? Sampai kapan kita membiarkan kematian rakyat kecil diperlakukan sekadar sebagai insiden prosedural? Apa arti evaluasi kalau tidak menghadirkan perubahan nyata? Apa arti permintaan maaf kalau tindakan represif masih terus berulang?
Di titik inilah kita sadar, betapa murahnya harga nyawa di negeri ini. Terutama nyawa rakyat kecil, yang suaranya sering diabaikan, keberadaannya dianggap remeh, dan perjuangannya kerap dipatahkan dengan cara-cara kekerasan.
Kami Bukan Musuh
Ada yang tampaknya terlupa di negeri ini: rakyat bukanlah musuh negara. Rakyat bukanlah ancaman yang perlu dihadapi dengan gas air mata, peluru karet, apalagi kendaraan lapis baja.
Rakyat adalah bagian dari bangsa, bagian dari mereka yang justru seharusnya dilindungi. Rakyat adalah alasan utama berdirinya negara. Tapi ironisnya, di banyak peristiwa, rakyat justru diperlakukan sebaliknya. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung, berubah jadi algojo. Negara yang seharusnya memberi rasa aman, justru menghadirkan ketakutan.
Kami hanya ingin hidup layak. Kami hanya ingin didengar. Kami hanya ingin diperlakukan adil. Apakah itu terlalu berlebihan?
Pola Kekerasan yang Tak Pernah Usai
Kita tidak sedang membicarakan tragedi pertama. Dari tahun ke tahun, setiap kali rakyat turun ke jalan, selalu ada risiko nyawa melayang. Selalu ada cerita korban yang pulang dengan luka, atau bahkan tidak pernah pulang sama sekali.
Dan ironisnya, pola yang sama terus diulang. Ada korban, ada pernyataan resmi, ada janji evaluasi, lalu semuanya hilang ditelan waktu. Hingga kemudian tragedi berikutnya terjadi, dan siklus kekerasan itu kembali berputar.
Bukankah ini tanda bahwa kita sedang menghadapi masalah sistemik? Bahwa ada kultur kekerasan yang dibiarkan tumbuh di tubuh aparat, yang selalu melihat rakyat kecil sebagai ancaman, bukan sebagai manusia yang harus dijaga martabatnya?
Rakyat Sudah Terlalu Lama Ditindas
Rakyat kecil sudah lama ditindas, meski dengan cara berbeda-beda. Ditindas dengan kebijakan yang memihak pemodal, ditindas dengan harga kebutuhan yang mencekik, ditindas dengan janji pembangunan yang sering tak kunjung terasa di akar rumput.
Dan ketika rakyat mencoba bersuara, alih-alih didengar, suara itu justru dibungkam dengan represi. Seakan-akan penderitaan sehari-hari yang kami alami belum cukup. Seakan-akan hidup susah saja tidak cukup menyakitkan, hingga harus ditambah dengan ancaman kekerasan di jalanan.
Pertanyaan yang Tak Butuh Jawaban Panjang
“Kenapa harus dilindas? Apa kami masih kurang ditindas?”
Pertanyaan ini lahir dari hati yang lelah. Lelah ditindas, lelah dibungkam, lelah menghadapi kenyataan bahwa nyawa rakyat kecil sering dianggap tidak lebih berharga dari prosedur.
Pertanyaan ini bukan sekadar emosi. Ia adalah jeritan kolektif, jeritan yang mewakili jutaan rakyat kecil yang setiap hari hidup dalam ketidakadilan.
Dan sesungguhnya, pertanyaan ini tidak butuh jawaban panjang. Jawabannya sederhana, jelas, dan tegas: rakyat harus dilindungi, bukan ditindas. Nyawa manusia harus dihargai, bukan diremehkan, dan suara rakyat harus didengar, bukan sembunyi dibalik banteng aparat.
Yang kami tunggu bukan sekadar kata maaf. Yang kami butuhkan bukan sekadar janji evaluasi. Yang kami rindukan adalah keberanian negara untuk benar-benar berpihak pada rakyat. Keberanian untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Keberanian untuk menghentikan pola kekerasan yang sudah terlalu lama menjadi luka bangsa ini.
Kalau tidak, sejarah negeri ini akan terus diwarnai darah orang kecil. Dan setiap kali tragedi itu kembali terjadi, setiap kali ban kendaraan melindas tubuh rakyat, pertanyaan getir ini akan terus bergema: Kenapa harus dilindas, apa kami masih kurang ditindas?
Pertanyaan ini kini tidak hanya ditujukan kepada aparat di lapangan, tapi juga kepada para anggota dewan yang hingga hari ini belum benar-benar menjawab jeritan rakyat. Karena sejatinya, ketidakadilan tidak akan pernah berhenti jika mereka yang punya kewenangan membiarkannya terus berlangsung.
Sejarah akan mencatat, rakyat kecil pernah bersuara, pernah bertanya, pernah meminta keadilan. Tapi apakah para wakil rakyat mau menjawab, atau memilih tetap bungkam, hanya waktu yang akan membuktikan.
Hamka Pakka, Jurnalis Edarinfo.com