Opini, Edarinfo.com—Delapan puluh tahun yang lalu, para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan dengan tekad menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, setelah delapan dekade merdeka, pertanyaan mendasar yang layak diajukan secara jujur adalah: apakah keadilan sosial tersebut benar-benar telah terwujud di sektor kesehatan?
Potret Kesehatan 80 Tahun Indonesia
Jika kita menengok realitas hari ini, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih jauh dari merata. Di kota-kota besar, rumah sakit modern dengan fasilitas lengkap mudah dijumpai, sementara di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masyarakat masih berjuang keras untuk mendapatkan layanan dasar. Ketimpangan ini bahkan diperburuk oleh rasio tenaga kesehatan Indonesia yang baru mencapai 3,84 per 1.000 penduduk; masih di bawah standar WHO yakni 4,45 per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2023; WHO, 2022).
Indonesia juga menghadapi beban ganda penyakit. Penyakit menular masih menjadi permasalahan serius di berbagai wilayah, sedangkan penyakit tidak menular akibat perubahan gaya hidup meningkat pesat di wilayah perkotaan. Ketimpangan dalam penanganan dua beban penyakit tersebut mencerminkan bahwa sistem kesehatan nasional belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara adil.
Indikator Kesehatan yang Tertinggal
Kemerdekaan politik memang telah diraih sejak tahun 1945. Akan tetapi, kemerdekaan untuk hidup sehat sebagai hak dasar warga negara masih belum terdistribusi secara merata. Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa harapan hidup Indonesia baru mencapai 73,93 tahun, tertinggal dari Singapura (83,1 tahun) dan Malaysia (76,5 tahun) (World Bank, 2023). Meskipun terdapat kemajuan, angka tersebut menunjukkan bahwa pencapaian Indonesia masih jauh dari ideal.
Cakupan Luas, Kualitas Tertinggal
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan (2024) telah mencakup 90% penduduk Indonesia, sebuah capaian penting dalam konteks universal health coverage (UHC). Namun, capaian kuantitatif ini belum diiringi oleh pemerataan kualitas layanan. Di Papua, misalnya, 42,6% puskesmas masih beroperasi tanpa dokter (Kemenkes, 2023). Indeks Gini distribusi dokter spesialis mencapai 0,53 yang menandakan terjadinya konsentrasi layanan di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Dengan kata lain, meskipun secara formal hampir mencapai UHC, secara substantif Indonesia masih jauh dari keadilan kesehatan.
Sejarah yang Berulang
Ironi ini sesungguhnya bukan fenomena baru. Sejak masa awal kemerdekaan, Indonesia telah menghadapi sejumlah masalah kesehatan seperti rendahnya harapan hidup, tingginya angka kematian bayi, dan minimnya tenaga medis. Dari Orde Lama hingga era Reformasi, jargon pemerataan kesehatan terus digaungkan, tetapi permasalahan klasik berupa distribusi tenaga kesehatan tidak kunjung terselesaikan. Seperti dikemukakan Whitehead (1992), ketidaksetaraan kesehatan yang sebenarnya dapat dicegah merupakan bentuk nyata ketidakadilan sosial. Fakta bahwa Indonesia masih tertinggal setelah 80 tahun merdeka telah menegaskan hal tersebut.
Kemerdekaan sejati tidak hanya berarti terbebas dari penjajahan politik, tetapi juga terwujudnya keadilan dalam memperoleh layanan kesehatan. Oleh karena itu, terdapat tiga langkah strategis yang perlu dilakukan. Pertama, redistribusi tenaga kesehatan yang disusun berdasarkan kebutuhan daerah, termasuk penguatan insentif finansial dan nonfinansial agar tenaga kesehatan bersedia mengabdi di wilayah 3T. Kedua, optimalisasi teknologi seperti telemedisin, rekam medis digital, dan sistem rujukan daring sebagai jembatan untuk mengatasi keterbatasan akses. Ketiga, prioritas anggaran yang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga peningkatan kualitas layanan, pendidikan tenaga medis, serta penguatan sistem rujukan.
Jika kemerdekaan diibaratkan sebagai napas, maka kesehatan adalah denyut nadinya. Napas panjang tidak akan berarti tanpa denyut yang kuat. Delapan puluh tahun setelah kemerdekaan, Indonesia memang telah merdeka, tetapi masih “sakit” dalam mewujudkan keadilan kesehatan. Kendati demikian, sakit tidaklah merupakan vonis permanen. Dengan komitmen politik yang kuat, kebijakan berbasis bukti, dan keberpihakan nyata kepada rakyat kecil, Indonesia Sehat bukan lagi sekadar mimpi, melainkan keniscayaan.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Indonesia 2024. Jakarta: BPS.
BPJS Kesehatan. (2024). Laporan Tahunan BPJS Kesehatan 2024. Jakarta: BPJS.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2023. Jakarta: Kemenkes RI.
Whitehead, M. (1992). The concepts and principles of equity and health. International Journal of Health Services, 22(3), 429–445.
World Bank. (2023). World Development Indicators. Washington, DC: World Bank.
World Health Organization. (2022). Global Health Workforce Statistics. Geneva: WHO.
Penulis: Adi Putra Pratama, S.KM., M.KM (Akademisi Kesehatan)