Gaza, Edarinfo.com– Konfederasi Caritas mengutuk keras serangan militer Israel terhadap Gereja Paroki Keluarga Kudus di Gaza pada Kamis pagi (17/7/2025). Dalam pernyataan resminya, Caritas menyerukan penghormatan terhadap kesakralan hidup dan ruang-ruang yang melindunginya, serta memperingatkan dunia akan kondisi kemanusiaan yang semakin memburuk di wilayah konflik ini.
Serangan tersebut menewaskan tiga warga sipil:
- Saad Salameh (60), petugas kebersihan paroki
- Fumayya Ayyad (84)
- Najwa Abu Daoud (69)
Ketiganya sempat dilarikan ke Rumah Sakit Al-Mamadani, namun tidak tertolong akibat minimnya pasokan medis dan darah. Gaza saat ini masih berada di bawah blokade berkepanjangan yang melumpuhkan sistem kesehatan.
Menurut laporan Vatican News, gereja tersebut menjadi tempat perlindungan bagi warga sipil yang mengungsi dari gempuran. Beberapa korban luka lainnya juga dilaporkan dalam kondisi kritis.
Alistair Dutton, Sekretaris Jenderal Caritas Internationalis, menyampaikan duka mendalam atas peristiwa ini.
“Kematian mereka adalah pengingat menyakitkan atas kondisi mengerikan yang dialami warga sipil dan tenaga medis di bawah pengepungan,” ujarnya.
Ia menyerukan kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk menghormati kehidupan manusia, serta tidak menjadikan tempat ibadah dan zona kemanusiaan sebagai target serangan. Seruan ini diamini oleh Caritas Jerusalem, yang sebelumnya telah kehilangan dua staf medis dan anak-anak mereka dalam serangan udara pada Oktober dan November 2023.
Suara dari Tengah Duka
Pastor Gabriel Romanelli, imam Paroki Keluarga Kudus, turut terluka dalam serangan ini. Ia sebelumnya telah memperingatkan umat untuk tetap berada di rumah akibat meningkatnya penembakan di sekitar gereja.
“Jika Romo Gabriel tidak memperingatkan kami, kami bisa kehilangan 50 hingga 60 orang hari ini. Itu akan menjadi pembantaian,” ujar salah satu staf Caritas Jerusalem di Gaza.
Hanya tiga hari sebelum serangan, Caritas Jerusalem merilis laporan yang menggambarkan kondisi Gaza sebagai “tingkat kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Laporan bertanggal 14 Juli 2025 mencatat:
- 758 orang tewas, lebih dari 000 luka-luka sejak 27 Mei 2025
- 2,1 juta penduduk Gaza menghadapi kelaparan akut
- 80% infrastruktur air dan sanitasi berada di zona konflik aktif
- 40% penyakit yang dilaporkan adalah diare berair akut
- Rumah sakit kolaps, pendidikan lumpuh, dan lebih dari 1,3 juta orang memerlukan tempat penampungan darurat
- Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan eksploitasi
Panggilan untuk Kemanusiaan
Caritas Jerusalem, yang berdiri sejak 1967 pasca-Perang Enam Hari, adalah bagian dari Caritas Internationalis—jaringan pelayanan kemanusiaan Gereja Katolik yang bekerja di lebih dari 160 negara.
Dalam solidaritas global, Caritas menyerukan agar seluruh pihak:
- Melindungi rumah ibadah dan zona kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI)
- Menjamin akses tanpa hambatan terhadap bantuan medis dan pangan
- Menghentikan serangan terhadap warga sipil, terutama mereka yang berlindung di gereja dan zona aman
- Menegakkan martabat manusia, yang tak boleh dikorbankan atas nama konflik
Dalam kunjungan ke relawan Caritas di Gaza, konfederasi juga menggaungkan kembali seruan Paus Leo XIV untuk gencatan senjata segera serta penghormatan terhadap hukum internasional, hukum perang, dan prinsip hak asasi manusia.
Hukum Humaniter Internasional secara tegas mengatur perlindungan terhadap warga sipil, pekerja medis, dan semua yang tidak terlibat dalam konflik. Termasuk larangan penggunaan tempat ibadah sebagai sasaran militer.
Refleksi Iman dan Tindakan
Tragedi kemanusiaan ini menggugah kembali nilai-nilai perdamaian dalam ajaran Kristiani. Sebagaimana tertulis dalam Roma 12:18:
“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.”
Ayat ini menjadi penegasan bahwa meski dunia dilanda kekerasan dan kebencian, suara dan aksi untuk perdamaian tidak boleh padam. Gereja dan lembaga kemanusiaan seperti Caritas terus menjadi pelita harapan di tengah kelamnya peperangan.
Karena Tanah Perjanjian bukan milik satu bangsa, melainkan ruang kehidupan bersama di mana setiap umat seharusnya dapat hidup dalam martabat, hak, dan damai.
Penerjemah/Penulis: Geraldi Nugroho