Opini, Edarinfo.com– Tom Lembong pernah duduk di kursi kekuasaan dengan satu bekal utama: kepercayaan. Kepercayaan publik terhadap integritasnya. Kepercayaan Presiden Jokowi terhadap kapasitas profesional dan rekam jejak bersihnya. Kepercayaan bahwa negara ini masih bisa diperbaiki oleh orang-orang baik. Tapi pada Juli 2025, kepercayaan itu seolah tidak ada gunanya. Pengadilan Tipikor memvonis Tom 4,5 tahun penjara dalam kasus yang hingga hari ini masih mengundang pertanyaan: apakah benar yang sedang dihukum adalah niat jahat, atau justru keberaniannya dalam berinovasi?

Kasus ini bermula dari sebuah keputusan kebijakan. Tom, dalam kapasitasnya sebagai pejabat atau Menteri saat itu, memberi izin impor gula mentah kepada perusahaan swasta, bukan hanya kepada BUMN. Keputusan ini dianggap menyalahi aturan yang mengatur tata niaga impor gula. Jaksa menudingnya merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Namun, di ruang sidang, fakta-fakta lain terkuak.

Tom tidak memperkaya diri sendiri. Ia tidak menerima gratifikasi. Ia juga tidak bermufakat jahat dengan pihak manapun. Bahkan, dalam putusannya, hakim secara eksplisit menyatakan bahwa Tom tidak memiliki “mens rea”, atau niat jahat yang secara teori hukum adalah elemen utama dalam tindak pidana korupsi.

Meski demikian, vonis tetap dijatuhkan. Empat setengah tahun penjara dan denda ratusan juta rupiah. Untuk apa? Untuk sebuah keputusan kebijakan yang dianggap salah prosedur?

Birokrasi yang Membunuh Keberanian

Mari kita jujur: tidak ada pemimpin yang bisa mengambil keputusan tanpa risiko. Apalagi dalam situasi ekonomi yang dinamis dan rumit. Terkadang, pemimpin harus mengambil jalan yang belum ada di peta. Terkadang, mereka harus melangkahi garis abu-abu demi mencegah bencana yang lebih besar.

Tapi putusan terhadap Tom memberi sinyal yang sangat jelas: berani mengambil keputusan berarti berani dipenjara.

Jika sistem kita tidak bisa membedakan antara tindakan koruptif dan kesalahan administratif, maka sejatinya kita sedang membunuh satu demi satu keberanian para pemimpin. Kita akan memanen generasi pejabat yang kaku, takut bertindak, dan lebih mementingkan keselamatan pribadi ketimbang manfaat publik.

Bayangkan kamu seorang pejabat. Kamu tahu ada solusi untuk menstabilkan harga pangan. Kamu tahu, jika kamu menunggu prosedur birokrasi yang panjang, rakyat akan semakin tercekik. Kamu tahu, keputusanmu bisa menyelamatkan banyak orang. Tapi kamu juga tahu: jika ada yang tidak suka, kamu bisa diseret ke pengadilan.

Apa yang kamu pilih? Bertindak atau diam?

Inilah dilema yang kini menjadi nyata. Vonis Tom Lembong tidak hanya menjatuhkan seorang individu. Ia mengirimkan pesan mengerikan kepada seluruh birokrasi negeri ini: jangan pernah bertindak terlalu jauh, sekalipun itu demi kebaikan.

Saat Hukum Kehilangan Nurani

Hukum sejatinya adalah penuntun moral masyarakat. Ia membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Tapi dalam kasus ini, hukum justru menjadi alat untuk menghakimi keberanian berinovasi.

Ketika seseorang dijatuhi hukuman karena sebuah kebijakan yang tidak memberikan keuntungan pribadi, maka sesungguhnya yang sedang dihukum bukanlah kejahatan, melainkan kebebasan bernalar dan berimprovisasi.

Apakah hukum kita tidak lagi mengenal konteks? Apakah kejujuran dan integritas sudah tak lagi relevan di hadapan pasal-pasal yang dipelintir untuk menghukum?

Jika benar begitu, maka kita sedang menyaksikan matinya nurani dalam ruang-ruang pengadilan.

Mari berpikir ke depan. Jika orang seperti Tom Lembong saja bisa dihukum, siapa yang masih berani menjadi pejabat publik?

Mengapa kita berharap akan lahir pemimpin-pemimpin baru yang jujur, ketika sistem justru menjadikan kejujuran sebagai risiko paling mahal?

Vonis ini bisa jadi hanya satu peristiwa hukum. Tapi dampaknya jauh lebih luas. Ia menciptakan iklim ketakutan, mencederai semangat reformasi, dan mengikis harapan bahwa birokrasi masih bisa menjadi tempat bagi orang-orang baik.

Jangan Biarkan Negeri Ini Kehilangan Harapan

Kita memang harus memberantas korupsi. Tapi jangan sampai semangat itu berubah menjadi pisau yang membunuh orang-orang jujur. Jangan biarkan hukum digunakan untuk menghukum kebijakan yang tak disukai, padahal tak merugikan. Jangan biarkan setiap pejabat harus memilih antara keselamatan pribadi atau kebermanfaatan publik.

Jika sistem hukum tidak bisa membedakan mana kesalahan administratif dan mana niat jahat, maka jangan salahkan siapa-siapa ketika kelak, tak ada lagi orang baik yang mau menjabat.

Tom Lembong mungkin hanya satu nama. Tapi vonis terhadapnya adalah pesan bagi seluruh negeri: kejujuran tak lagi cukup. Keberanian bisa membawa petaka. Dan kebaikan pun bisa dihukum.

Dan jika itu yang kita wariskan kepada bangsa ini, maka jangan heran Indonesia yang kita harapkan menjadi Indonesia emas berubah menjadi Indonesia cemas.

 

Penulis, Hamka Pakka (Jurnalis)