Oleh: Husnul Muchlis
Opini, Edarinfo.com – Kemajuan teknologi dan maraknya narasi kesetaraan gender di era digital seharusnya menjadi kabar baik bagi perempuan. Namun ironisnya, justru di tengah kemajuan tersebut, perempuan menghadapi bentuk eksploitasi baru, lebih halus, lebih rapi, tetapi jauh lebih berbahaya.
Eksploitasi hari ini tak lagi berbentuk kekerasan fisik, rantai, atau larangan ekstrem. Ia hadir dalam bentuk visual: melalui kamera depan, filter digital, dan algoritma media sosial yang memuja citra. Tubuh perempuan dijadikan komoditas secara diam-diam, dan jati dirinya kerap digadaikan atas nama “kebebasan berekspresi”. Padahal, tidak semua yang tampak bebas benar-benar merdeka.
Eksploitasi Berbungkus Estetika
Di media sosial, tekanan terhadap perempuan begitu besar: harus tampil menarik, modis, bahkan sensual, demi mendapatkan validasi berupa likes, followers, dan peluang komersial. Tak jarang, perempuan terdorong mereduksi dirinya menjadi sekadar visual, wajah cantik, tubuh ideal, dan gaya hidup mewah.
Fenomena ini bukan hanya disebabkan oleh pilihan individu, melainkan oleh sistem besar yang menopang budaya patriarki digital. Kapitalisme modern menjadikan perempuan bukan sekadar konsumen, tapi juga produk. Citra perempuan dijual, tubuhnya dikapitalisasi, dan eksistensinya dipertaruhkan demi angka di layar.
Lebih ironis lagi, eksploitasi ini dibungkus dengan narasi pemberdayaan. Seolah menjadi objek adalah pilihan sadar yang membebaskan. Padahal, ini hanyalah wajah baru dari penindasan lama: perempuan diminta tersenyum saat dijadikan komoditas.
Feminisme Bukan Tren Kosmetik
Feminisme kerap disalahpahami. Banyak yang menganggapnya sebatas penolakan terhadap pernikahan, perlawanan terhadap laki-laki, atau kebebasan dalam berpakaian. Padahal, feminisme adalah kesadaran kritis terhadap struktur sosial yang menindas perempuan, baik secara ekonomi, budaya, maupun simbolik.
Feminisme bukan hanya tentang kebebasan memilih, melainkan tentang memahami siapa yang menciptakan pilihan tersebut, dan siapa yang diuntungkan. Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu diajukan antara lain:
- Mengapa tubuh perempuan lebih dihargai daripada pikirannya?
- Mengapa suara perempuan baru dianggap penting jika ia cantik dan populer?
- Mengapa perempuan terus dibentuk untuk menghibur, bukan memimpin?
Feminisme tidak mengajarkan kebencian, melainkan keberanian untuk berkata: “Saya cukup. Saya utuh. Saya bukan barang.”
Dari Kritik Menuju Aksi: Pemberdayaan yang Nyata
Perempuan tidak bisa berhenti pada kritik. Untuk keluar dari jebakan eksploitasi, perempuan harus membangun kekuatan di tiga bidang utama:
- Kemandirian Ekonomi
Ketergantungan finansial sering menjadi akar dari relasi yang timpang. Perempuan perlu menciptakan nilai, membangun usaha, dan menjadi aktor aktif dalam ekonomi. Tujuannya bukan untuk bersaing dengan laki-laki, tetapi agar tidak dikendalikan oleh ketergantungan.
- Ketajaman Intelektual
Dunia yang adil membutuhkan perempuan yang berpikir kritis. Membaca, menulis, berdiskusi, dan membangun kapasitas intelektual akan membantu perempuan keluar dari jebakan stereotip yang mereduksi mereka sebagai “wajah” belaka.
- Kepercayaan Diri
Validasi sejati tidak datang dari pujian orang lain, tetapi dari keyakinan pada nilai diri yang lahir dari kerja, ilmu, dan prinsip hidup. Perempuan harus merasa cukup dengan dirinya sendiri.
Kembali Menjadi Subjek, Bukan Produk
Perempuan bukan etalase. Mereka adalah pelaku sejarah. Jika sistem terus mendorong perempuan untuk jinak dan penurut, maka berpikir adalah bentuk perlawanan tertinggi. Ketika dunia hanya menghargai yang cantik, maka perempuan berilmu adalah ancaman nyata bagi budaya patriarki.
Gerakan perempuan bukan tentang melawan laki-laki, melainkan tentang merebut kembali kendali atas hidupnya sendiri.
Penjajahan yang Tak Terlihat
Ketika perempuan hanya dinilai dari penampilan, dunia kehilangan potensi intelektualnya. Inilah bentuk penjajahan baru: perempuan tidak lagi dijauhkan dengan kekerasan, tetapi dengan pengaburan makna. Perempuan dijauhkan dari ruang berpikir, dari ranah kepemimpinan, dari diskusi strategis. Mereka diundang tampil, tapi sering kali hanya sebagai ornamen, bukan aktor utama.
Kini waktunya mengubah narasi. Perempuan harus kembali menjadi subjek: menentukan arah, bukan sekadar mengikuti arus.
Perempuan yang berpikir, bekerja, dan berdaya adalah ancaman bagi sistem yang ingin mereka tetap diam. Dan itu kabar baik.
Sudah saatnya perempuan berhenti menjadi cermin yang hanya memantulkan keinginan orang lain. Saatnya mereka menjadi api yang menerangi diri, menghangatkan sekitarnya, dan membakar ketidakadilan yang dibungkus rapi oleh budaya.
Perempuan tidak diciptakan untuk disukai. Mereka diciptakan untuk hidup sepenuhnya: utuh, merdeka, dan menentukan arah hidupnya sendiri.
“Jangan ajari perempuan tunduk dengan kata-kata manis. Ajari dunia untuk berhenti menindas dengan sistem yang lembut tapi mematikan. Karena perempuan yang berdiri di atas kaki sendiri adalah revolusi diam yang paling ditakuti oleh dunia yang terbiasa melihat mereka duduk manis.”
Penulis:
Husnul Muchlis mahasiswa Universitas Ichsan Sidenreng Rappang, jurusan Bisnis Digital. Saat ini aktif mengembangkan usaha di bidang fashion serta mendalami dunia investasi. Ia percaya bahwa perempuan harus merdeka secara ekonomi dan intelektual agar dapat menentukan jalan hidupnya sendiri dengan bermartabat.