Oleh: Achmad Fikri Hehanussa
Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Indonesia
Opini, Edarinfo.com – Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam, terutama di kawasan timur seperti Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Wilayah ini bukan hanya surga wisata bahari kelas dunia, tetapi juga menjadi incaran kepentingan industri ekstraktif, terutama sektor tambang.
Ketika eksplorasi dan eksploitasi tambang menyasar wilayah-wilayah adat dan area konservasi di Raja Ampat, ketegangan pun muncul. Di satu sisi ada dorongan pengembangan ekonomi nasional, namun di sisi lain ada hak masyarakat adat atas tanah, laut, dan lingkungan hidup mereka yang terancam. Konflik yang timbul pun bersifat multidimensi: menyentuh aspek hukum, sosial, budaya, dan ekologi.
Pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang merekomendasikan penyelesaian konflik melalui pendekatan hukum adat patut dicermati. Pernyataan ini dapat dibaca sebagai pengakuan negara atas eksistensi hukum adat yang selama ini sering terabaikan dalam sistem hukum nasional. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan kritis: apakah ini bentuk penguatan posisi masyarakat adat, atau justru cara negara mengalihkan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan konflik struktural akibat kebijakan perizinan yang bermasalah?
Delegasi Tanpa Dukungan Institusional
Konflik pertambangan bukan hanya konflik horizontal antara masyarakat atau antara warga dan korporasi. Ini juga menyangkut kebijakan publik, proses perizinan, dan peran negara dalam menjamin keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Menyerahkan penyelesaian konflik tambang kepada mekanisme adat tanpa dukungan hukum negara yang kokoh justru membuka ruang bagi ketidakpastian hukum, manipulasi adat, dan reproduksi ketidakadilan.
Kita tahu bahwa masyarakat adat sering kali berada dalam posisi yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politik. Mereka tidak memiliki kapasitas hukum dan kelembagaan yang setara untuk menghadapi korporasi yang didukung modal besar dan jejaring kekuasaan. Dalam kondisi seperti itu, pendekatan hukum adat bisa menjadi jalan kompromi terpaksa, bukan ruang keadilan sejati.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 memang secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukan milik negara, melainkan milik masyarakat adat. Tapi pengakuan itu harus diiringi dukungan nyata dari negara. Pakar hukum adat seperti James Anaya juga menegaskan bahwa pengakuan terhadap hukum adat harus disertai dengan penguatan institusional dari negara. Tanpa itu, pendekatan hukum adat hanya akan menjadi bentuk pengalihan beban dari negara ke komunitas yang justru paling rentan.
Risiko Ketimpangan dalam Mekanisme Adat
Hukum adat juga memiliki keterbatasan. Ia bersifat lokal, spesifik, dan sangat tergantung pada struktur sosial masing-masing komunitas. Ketika pendekatan adat diterapkan tanpa kehati-hatian dan mekanisme pengawasan, potensi munculnya elitisme, kooptasi, dan manipulasi sangat besar.
Sering kali, keputusan penting dalam komunitas adat didominasi oleh elite adat atau pemimpin yang berafiliasi dengan investor. Suara komunitas yang lebih luas terpinggirkan. Perusahaan tambang pun kerap memanfaatkan dinamika internal ini demi mendapat legitimasi sosial, meski mengorbankan substansi keadilan ekologis dan sosial. Dalam konteks ini, hukum adat yang seharusnya menjadi benteng perlindungan justru berisiko menjadi alat legalisasi eksploitasi.
Bahaya Mengabaikan Prinsip Kehati-hatian
Raja Ampat adalah wilayah dengan nilai ekologis internasional. Terumbu karang, kekayaan hayati laut, dan ekosistemnya adalah yang tertinggi di dunia. Setiap aktivitas ekstraktif di sana seharusnya mengikuti prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penerapan hukum adat tanpa riset ilmiah, batas eksploitasi yang jelas, dan keterlibatan negara dalam pengawasan akan memunculkan risiko besar: kerusakan ekologis yang tidak bisa dipulihkan (irreversible damage). Komunitas adat yang sangat bergantung pada alam sebagai sumber kehidupan dan identitas budaya mereka akan menjadi pihak pertama yang menanggung kerugian.
Negara Harus Hadir
Hemat penulis, konflik tambang di Raja Ampat tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada hukum adat. Diperlukan pendekatan hukum yang hybrid, yakni integrasi antara hukum adat dan hukum negara, dengan negara tetap memegang peran utama dalam penegakan hukum, perlindungan HAM, dan pengawasan lingkungan.
Pendekatan hukum adat tanpa dukungan kelembagaan negara bukan hanya tidak cukup, tapi juga berbahaya. Itu adalah bentuk mundurnya negara dari tanggung jawab konstitusionalnya. Jika dibiarkan, hasilnya bukan keadilan, melainkan perluasan ketimpangan dan pengkhianatan terhadap amanat perlindungan sumber daya alam untuk generasi mendatang.