Opini, Edarinfo.com– Sulawesi Selatan dikenal sebagai wilayah yang mengakui keberagaman gender dalam budaya Bugis, yakni laki-laki, perempuan, calabai, calalai, dan bissu. Bissu merupakan entitas spiritual yang tidak berkaitan langsung dengan seksualitas. Berbeda dengan istilah Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) yang berkaitan dengan identitas dan orientasi seksual, bissu menjalankan fungsi religius dan kultural dalam masyarakat. Maka, menyamakan bissu dengan LGBTQ adalah penyederhanaan yang keliru secara konsep.

Namun, penting untuk dipahami bahwa seksualitas adalah aspek personal yang berada dalam ranah privat, dan karenanya tidak semestinya diatur secara represif oleh negara. Munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur isu LGBTQ sering kali dilihat sebagai bentuk kebijakan populis, yang cenderung menjadikan tubuh sebagai objek kontrol negara. Meski penulis tidak membenarkan insiden yang terjadi di sebuah tempat hiburan malam yang menjadi sorotan publik dan memicu kembali wacana Perda ini, penulis juga menolak gagasan bahwa negara berhak mengontrol ekspresi tubuh warga negara, siapapun mereka.

Dalam perspektif filsafat politik, kontrol negara atas tubuh individu dapat ditinjau melalui dua pendekatan: pandangan Thomas Hobbes dan John Locke. Thomas Hobbes memandang bahwa tanpa negara, masyarakat akan berada dalam kondisi chaos dan penuh konflik. Karena itu, menurutnya, dibutuhkan otoritas kuat—yang disebutnya Leviathan—untuk menciptakan ketertiban. Dalam konteks ini, Perda LGBTQ bisa dipahami sebagai upaya negara merespons keresahan sosial yang berkembang, terutama di masyarakat yang masih menunjukkan resistensi terhadap keberadaan kelompok LGBTQ.

Sebaliknya, John Locke meyakini bahwa setiap individu memiliki hak-hak asasi yang melekat sejak lahir—termasuk kebebasan berekspresi dan menentukan sikap atas tubuhnya sendiri. Negara, dalam pandangan Locke, seharusnya melindungi hak-hak tersebut, bukan justru membatasi atau mengekang. Dari sudut pandang ini, regulasi terhadap orientasi seksual atau ekspresi identitas dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas kebebasan sipil warga negara.

Pertanyaan mendasarnya: untuk siapa sebenarnya Perda ini dibuat? Apakah ia hadir demi kemaslahatan umum? Ataukah sekadar menjadi alat populisme untuk meraup dukungan politik mayoritas? Di sinilah pentingnya sikap kritis dalam menilai sebuah kebijakan publik. Setiap regulasi harus dilihat tidak hanya dari sisi keamanannya bagi masyarakat umum, tetapi juga dari dampaknya terhadap kelompok minoritas.

Kita perlu bertanya: apakah kebijakan ini membuka ruang bagi diskriminasi? Apakah kebijakan ini akan membatasi hak dan ruang gerak teman-teman ragam gender sebagai sesama warga negara? Apakah kita berhak mendiskriminasi seseorang hanya karena orientasi seksualnya?

Sebagai bagian dari masyarakat mayoritas, kita memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan empati terhadap kelompok yang lebih rentan. Perbedaan seharusnya menjadi kekuatan yang mempersatukan, bukan alasan untuk membatasi atau menyingkirkan. Kebijakan yang adil adalah kebijakan yang melindungi semua, bukan hanya mereka yang serupa dengan kita.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk menggiring opini, melainkan mengajak pembaca untuk melihat persoalan ini secara lebih jernih, dari berbagai sudut pandang. Mari kita refleksikan: apakah empati kita hanya berlaku bagi mereka yang sejalan dengan nilai kita sendiri?
Salam empati dan perlindungan bagi semua warga negara—tanpa kecuali.

Penulis, Dian Aditya Ning Lestari (Diku), Mahasiswa Gender dan Pembangunan Universitas Hasanuddin