Sidrap, Edarinfo.com– Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, belakangan ini gencar mempromosikan diri sebagai “Sidrap Religius.”
Slogan ini digaungkan melalui berbagai program keagamaan, mulai dari pembangunan rumah tahfidz, ceramah rutin di instansi pemerintahan, hingga baliho dakwah yang terpasang di sudut-sudut kota. Pemerintah daerah menyebut ini sebagai upaya membentuk generasi yang agamis dan berakhlak.
Namun saat malam tiba, wajah Sidrap tampak berbeda. Di beberapa titik, suara musik dari tempat hiburan malam terdengar lebih nyaring daripada lantunan azan Isya. Lampu kelap-kelip dari kafe remang-remang dan tempat karaoke ikut menghiasi suasana kota. Tak jarang, terlihat perempuan-perempuan yang berjoget di bawah sorotan lampu, disawer dengan uang tunai yang dilempar ke udara.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan: Di mana letak religiusitas yang selama ini digaungkan? Apakah slogan “Sidrap Religius” hanya hidup di baliho, bukan dalam realitas?
Salah satu organisasi perempuan muda, Korps HMI-Wati (Kohati) Cabang Sidrap, turut menyuarakan keresahan tersebut. Mereka menilai ada ketimpangan antara kampanye religius pemerintah dan praktik kehidupan malam yang kian marak.
“Kami mendukung penuh program keagamaan. Tapi tentu tidak cukup hanya seremonial. Penertiban tempat hiburan malam yang tidak sesuai dengan norma lokal dan nilai agama harus menjadi perhatian serius,” kata Sekretaris Umum Kohati Cabang Sidrap, Ega, dalam pernyataan sikapnya.
Di media sosial, warga mulai menyindir kondisi ini. Ada yang menyebut Sidrap memiliki dua shift: pagi dengan lantunan ayat suci, malam dengan irama DJ.
Masyarakat tentu tidak menolak hiburan.
Namun jika konsep religius ingin dihidupkan secara konsisten, maka pengawasan terhadap praktik yang bertentangan dengan nilai tersebut juga perlu ditegakkan.
Kini, pertanyaannya adalah: apakah generasi muda Sidrap akan menjadi agen perubahan yang membawa semangat religius ke kehidupan nyata? Atau justru terjebak dalam slogan kosong yang kehilangan makna?
Tanpa konsistensi, slogan “Sidrap Religius” berisiko berubah menjadi bahan sindiran, bukan cerminan jati diri.(*)