Jakarta, Edarinfo.com– Di sebuah sudut kota Jinxi, China, berdiri sebuah rumah yang kini menjadi ikon dari perlawanan diam-diam terhadap modernisasi. Rumah itu milik Huang Ping, seorang pria yang dulu bersikeras mempertahankan tempat tinggalnya meski pemerintah menawarkan ganti rugi sebesar 3,6 miliar rupiah. Kini, rumahnya justru berdiri sendiri di tengah jalan tol yang masih dalam tahap pembangunan, seakan menjadi monumen kecil dari pertarungan antara individu dan otoritas.

China bukan asing dengan pemandangan seperti ini. Rumah-rumah yang tetap berdiri meski dikelilingi proyek infrastruktur sering disebut “dingzihu” atau “rumah paku.” Sebutan ini merujuk pada bangunan yang menolak ditarik keluar meski sekelilingnya telah berubah drastis. Beberapa pemilik rumah bertahan karena faktor emosional, sementara lainnya merasa harga ganti rugi yang ditawarkan tidak cukup sepadan dengan nilai historis atau sentimental rumah mereka.

Namun, keputusan Huang untuk bertahan kini justru menjadi penyesalan. Awalnya, ia menolak tawaran relokasi dengan harapan bisa mempertahankan kehidupan seperti biasa. Tetapi, kenyataan berbicara lain. Jalan tol dibangun mengitari rumahnya, dengan permukaan jalan sejajar dengan atapnya. Dari udara, rumah itu tampak seperti lubang di tengah aspal, dilindungi pagar pengaman yang memisahkannya dari lalu lintas kelak.

Huang sendiri tidak lagi tinggal di rumah itu secara penuh. Selama pembangunan berlangsung, ia memilih tinggal bersama anaknya di kota lain. Namun, ia masih sering kembali, meskipun dengan akses yang terbatas. Sebuah jalan pintas berbentuk terowongan sederhana dibuat agar ia bisa mencapai rumahnya. Namun, kebisingan, debu, dan getaran akibat kendaraan yang nantinya melintas membuat hunian itu semakin jauh dari kata nyaman.

Fenomena rumah paku seperti milik Huang bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi juga tentang manusia dan hak atas tempat tinggal mereka. Modernisasi sering kali hadir dengan konsekuensi sosial, dan banyak warga di berbagai belahan dunia menghadapi dilema serupa: memilih menerima perubahan atau mempertahankan sesuatu yang telah menjadi bagian dari identitas mereka.

Kini, Huang hanya bisa merenungi keputusannya. Seandainya ia menerima tawaran relokasi, mungkin ia sudah menjalani hidup yang lebih tenang di tempat baru. Tapi kini, rumahnya tak lebih dari pulau kecil yang terselip di tengah arus perkembangan zaman yang tak terbendung.(*)

Artikel ini telah tayang sebelumnya di detik.com dengan judul “Penyesalan Terlambat Warga yang Tolak Jual Rumah Rp 3,6 M untuk Tol”