Opini, Edarinfo.com– Migrasi Lingkungan: Perubahan Iklim dan Tantangan GlobalPerubahan iklim telah menjadi salah satu pendorong utama migrasi internasional, terutama dari kawasan rentan seperti Afrika Utara menuju Eropa. Wilayah ini menghadapi tantangan besar akibat kekeringan berkepanjangan, kelangkaan air, dan degradasi lahan yang mengancam keberlanjutan mata pencaharian penduduk lokal. Kondisi tersebut memaksa banyak individu dan keluarga bermigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Namun, migrasi yang dipicu oleh perubahan lingkungan membawa dampak kompleks bagi negara asal, transit, maupun tujuan.
Tantangan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Migrasi besar-besaran dari Afrika Utara ke Eropa melalui Laut Mediterania tidak hanya membawa dampak sosial dan ekonomi, tetapi juga menciptakan tantangan lingkungan yang signifikan. Setiap tahun, ribuan migran mencoba menyeberangi laut berbahaya ini menggunakan perahu kecil yang sering kali tidak memenuhi standar keselamatan. Aktivitas ini berdampak pada ekosistem maritim, terutama dengan meningkatnya jumlah perahu yang tenggelam, meninggalkan puing-puing dan bahan bakar yang mencemari perairan serta merusak habitat laut.
Menurut data UNHCR, lebih dari 100.000 migran dan pengungsi mencapai Eropa melalui Laut Mediterania pada tahun 2022, dengan ribuan orang tewas atau hilang. Aktivitas migrasi ini juga menciptakan tekanan besar pada lingkungan lokal di wilayah seperti Pulau Lampedusa, Italia. Tempat penampungan darurat yang sering kali kurang memadai menyebabkan pencemaran sumber air dan degradasi lahan. Limbah dari kamp migran, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi mencemari tanah dan sumber daya air, membahayakan kesehatan manusia dan ekosistem.
Pengelolaan sampah dari operasi penyelamatan juga menjadi tantangan lingkungan. Peralatan penyelamatan seperti jaket pelampung dan perahu karet yang tertinggal di pantai-pantai Mediterania menjadi simbol visual krisis migrasi sekaligus sumber pencemaran. Kurangnya strategi pengelolaan berkelanjutan memperburuk dampak ini.
Selain dampak lingkungan, migrasi ini juga memperburuk ketimpangan sosial dan politik antara negara asal dan tujuan. Negara-negara Eropa sering kali merasa tertekan dengan peningkatan jumlah migran setiap tahun, memperburuk ketegangan politik domestik dan memicu kebijakan pembatasan yang lebih ketat. Sementara itu, negara asal seperti Libya, Tunisia, dan Aljazair menghadapi tantangan internal yang kompleks, termasuk ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan ketegangan sosial yang mendorong lebih banyak orang untuk bermigrasi.
Kerangka Hukum Internasional dan Perlindungan Migran
Kerangka hukum internasional tentang migrasi lingkungan masih terbatas. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) memprioritaskan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, tetapi tidak melindungi hak-hak migran lingkungan secara eksplisit. Global Compact for Migration (GCM) yang diadopsi pada 2018 mengakui migrasi yang dipicu perubahan iklim, tetapi sifatnya tidak mengikat secara hukum.
Konvensi PBB tentang Status Pengungsi tahun 1951 tidak mencakup migran yang meninggalkan negara mereka akibat degradasi lingkungan. Meski begitu, beberapa negara telah memperluas definisi pengungsi untuk mencakup migran lingkungan. Sebagai contoh, Jerman dan Swedia mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif terkait migran lingkungan, meskipun belum ada standar global yang berlaku.
Peningkatan kerja sama internasional diperlukan untuk menyusun kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia. Organisasi internasional seperti Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah menetapkan konvensi penting terkait migrasi tenaga kerja, namun fokusnya lebih pada migrasi ekonomi daripada lingkungan. Oleh karena itu, lebih banyak inisiatif diperlukan untuk memastikan perlindungan hak-hak migran yang terpengaruh oleh perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Solusi dan Rekomendasi
Solusi untuk mengelola migrasi lingkungan akibat perubahan iklim harus berbasis pada kebijakan yang holistik, inklusif, dan berbasis hak asasi manusia. Langkah pertama yang perlu diambil adalah memperkuat kerangka hukum internasional untuk mengakomodasi migran lingkungan. Konvensi PBB tentang Status Pengungsi perlu direvisi untuk mencakup pengungsi lingkungan yang menghadapi ancaman nyata akibat degradasi lingkungan. Hal ini akan memberikan perlindungan yang lebih jelas bagi mereka yang terpaksa bermigrasi karena bencana alam atau perubahan iklim.
Selain itu, negara-negara asal migran harus diberikan dukungan lebih besar dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Bantuan internasional perlu difokuskan pada pembangunan kapasitas untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap bencana alam. Ini termasuk investasi dalam infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim, seperti sistem irigasi yang efisien, teknologi pengelolaan air yang berkelanjutan, dan pembangunan kawasan yang lebih aman dari dampak iklim ekstrem.
Negara-negara tujuan migran, seperti negara-negara Eropa, juga harus mengembangkan kebijakan migrasi yang lebih humanistik. Kebijakan yang menekankan integrasi sosial dan ekonomi bagi migran dapat membantu mengurangi ketegangan sosial dan politik. Selain itu, kerja sama antarnegara perlu diperkuat, baik dalam mengelola arus migrasi maupun dalam mencari solusi jangka panjang untuk perubahan iklim.
Kesimpulan
Migrasi lingkungan dari Afrika Utara ke Eropa mencerminkan dampak nyata perubahan iklim terhadap mobilitas manusia. Tantangan hukum, sosial, dan ekonomi menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih responsif dan berkeadilan. Pendekatan berbasis kerja sama global dan perlindungan hak asasi manusia sangat penting untuk memastikan migran lingkungan mendapatkan perlindungan yang layak. Dengan strategi yang terkoordinasi, inklusif, dan berbasis hak asasi manusia, kita dapat mengurangi dampak negatif migrasi lingkungan dan menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.
Penulis: Marsha Nur Aqila (Mahasiswa Binus University)
Editor: Hamka Pakka