Makassar, Edarinfo.com Sebanyak 13 petahana kepala daerah dan keluarganya harus gigit jari di Pilkada 2024 di Sulawesi Selatan (Sulsel). Kekalahan ini terungkap dari hasil rekapitulasi KPU yang sudah selesai di 21 daerah hingga Kamis (5/12).

Hasilnya? Ada 6 petahana dan 7 anggota keluarga kepala daerah yang gagal merebut kursi yang mereka incar.

Siapa aja yang tumbang? Untuk petahana, ada Syamsari Kitta dari Takalar, Kartini Ottong dari Sinjai, Yohanis Bassang dari Toraja Utara, Budiman dari Luwu Timur, Ilhamsyah Azikin dari Bantaeng, dan pasangan Amran Mahmud-Amran di Wajo.

Sementara dari kubu keluarga petahana, yang kalah di antaranya adalah Ulfah Nurulhuda (anak Bupati Barru Suardi Saleh), Ernawati (istri mantan Wali Kota Parepare Taufan Pawe), dan Yusuf DM (anak mantan Bupati Sidrap Dollah Mando).

Lalu ada Mitra Fakhruddin (putra mantan Bupati Enrekang Muslimin Bando), Arham Basmin (anak mantan Bupati Luwu Basmin Mattayang), Farid Kasim Judas (anak mantan Wali Kota Palopo Judas Amir), dan Muhammad Fauzi (suami Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani).

Kenapa Banyak yang Kalah?

Menurut Prof. Sukri Tamma, pakar politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, ada banyak alasan kenapa para petahana dan keluarganya tumbang. Salah satu alasan utamanya adalah mereka dianggap kurang berhasil selama menjabat.

“Kalau kita melihat masing-masing daerah tentu punya alasannya masing-masing. Tetapi pada umumnya saya lihat, memang yang menjadi penting dalam melihat hal ini bahwa para petahana dan keluarga petahana tumbang ini mungkin belum dianggap cukup berhasil,” ujar Sukri yang kami lansir melalui detikSulsel, Kamis (5/12/2024).

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah keberadaan penantang yang lebih menjanjikan. Kalau petahana dirasa tidak terlalu greget, masyarakat cenderung memilih orang baru yang dianggap lebih punya harapan.

“Di beberapa tempat, kita mencermati bahwa ada juga dari masyarakat melihat kandidat penantang lebih menjanjikan. Apalagi kalau kandidat sebelumnya mempunyai kesalahan atau tidak cukup berhasil,” tambahnya.

“Sehingga masyarakat memilih untuk mencoba memberi kesempatan kepada orang baru, atau paslon yang selama ini bukan keluarga pejabat kepala daerah atau keluarganya dan masyarakat memberi mereka kesempatan,” sambung Sukri.

Jenuh Sama yang Itu-Itu Aja

Prof. Sukri juga menilai kalau kejenuhan menjadi salah satu faktor yang bikin petahana atau keluarganya kalah. Kalau kepala daerah udah dua periode menjabat, lalu kerabatnya ikut maju, masyarakat bisa merasa bosan dan ingin sesuatu yang baru.

“Ada titik jenuh, apalagi sudah 2 periode kerabat atau orang tuanya kemudian mendorong keluarganya maju. Itu bisa menjadi titik kejenuhan sehingga masyarakat memilih paslon lain,” jelasnya.

Meski demikian, kata Sukri bukan berarti semua petahana pasti kalah. Jika mereka berhasil dan punya prestasi yang diakui, dukungan dari masyarakat biasanya tetap ada, bahkan untuk keluarganya.

“Saya kira seandainya berhasil, diterima dan diapresiasi masyarakat tentu mereka akan mendapatkan dukungan. Mungkin tidak gagal, tapi prestasinya biasa-biasa saja, tidak ada hal baru, tidak ada hal inovatif, tidak ada hal luar biasa, sehingga masyarakat meninggalkannya karena melihat ada harapan baru dan melihat ada kemungkinan lebih baik ke depannya,” jelas Sukri.

Kerja Tim yang Tidak Maksimal

Selain soal prestasi, Sukri juga menyoroti pentingnya kerja tim pemenangan. Katanya, penantang yang punya tim solid biasanya lebih unggul dalam menarik simpati masyarakat.

“Kita tidak bisa menafikkan kerja-kerja tim paslon yang berhasil menang. Tim tentu telah bekerja secara maksimal, itu juga akan terkait dengan kerja-kerja partai pengusung. Jadi untuk fenomena ini ada memang ada beberapa alasan keluarga dan petahana belum berhasil,” ujar Sukri.

Kesimpulannya, kombinasi dari kinerja petahana yang kurang meyakinkan, kejenuhan masyarakat, dan strategi tim lawan yang lebih solid bikin petahana dan keluarganya tumbang di Pilkada 2024 Sulsel. Masyarakat, pada akhirnya, lebih memilih mereka yang dianggap bisa memberikan harapan baru.

“Mereka kurang berhasil meyakinkan sehingga masyarakat memilih memberi kesempatan kepada orang baru yang bisa memberi lebih baik. Kemudian kepala yang sudah dua periode kemudian mendorong keluarganya bisa jadi ada kebosanan di masyarakat dan mencari orang yang bisa memberi harapan baru,” tutupnya.(*)