Opini,Edarinfo.com–Hidup adalah misteri di mana kita harus berkelana untuk mencari tahu sendiri apa sebenarnya yang belum kita ketahui tersebut. Hidup memang selalu menjadi tantangan tersendiri bagi sang pengembala kehidupan, tak terkecuali dengan kehidupan mereka di luaran sana yang menginginkan kebahagiaan yang sudah kau janjikan itu. (Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.(Asy Syura ayat 11)

Setiap keluarga pastinya memiliki cerita dan roda kehidupan masing-masing, hidupmu, hidupnya dan hidupku mungkin tak sehebat dan tak sebahagia keluarga lainnya, tapi aku sebagai manusia harus selalu bersyukur di setiap fasenya. Mungkin saja terkadang kita merasa ketidakbahagiaan, ketidakadilan, ketersiksaan dan kesengsaraan. Namun, siapa yang tahu mungkin ada orang lain diluaran sana yang lebih tersiksa, lebih tak merasa ketidakadilan, lebih sengsara dan lebih tidak bahagia seperti apa yang kita rasakan hari ini.

Kami, iya mereka yang berada dalam fase itu, memang sudah tak mengenal arti sesunguhnya kasih sayang orangtua, arti sebenarnya kehangatan sebuah keluarga dan rasa aman dilindungi oleh orang tua. Bahkan mungkin Tuhan akan mereka tiadakan juga, Kami tak berkesempatan untuk itu karena orang tua kami sudah sejak lama berpisah sebelum aku masuk taman kanak-kanak yang belum mengenal apa pun, ujar mereka yang mulai kehilangan kasih sayang nya. Aku sedikit menggelitik terkait tafsiran Al-Qur’an yang membicarakan terkait konsep kasih sayang, berhubung kepercayaan dan keyakinanku Islam. Coba kalian renungkan. Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (Ali Imran ayat 31)

Saat kecil aku mungkin seperti yang lainnya bermain menghabiskan waktu, hingga tak terasa mereka sudah tumbuh semakin dewasa. Aku adalah anak sulung dua bersaudara, sejak dulu kami hidup bersama nenekku dan juga salah satu putri yang merupakan saudara mama ku. Ke mana mama kami, dia pergi jauh ke negeri orang untuk mencari kehidupan lainya di sana, meski mama ku tak sepenuhnya mengingikan kami, tapi dia ke negeri orang juga berniat untuk mencari nafkah bagi kami berdua. Disini mulai konsep kasih sayang tak mereka rasakan, katanya Tuhan adil? Kenapa coba diberikan kepada mereka yang membutuhkan untaian tangan itu. Inilah alasan kenapa kita harus lebhih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Selanjutnya, saya berpikir cobaan itu telah selesai, ternyata itu semua salah, Tuhan kembali memberikan ujian kepada kami lewat seorang bapak yang lebih memilih jalan hidup baru bersama orang lainnya, ya kita sebut dia adalah Ibu tiri (istri barunya). Akhirnya kami mulai mengerti lika-liku dalam kehidupan ini, tapi kami belum mengerti apakah semua itu ada alasannya. Itulah yang selalu menjadi titik ukur ketika kami Mulai merenung dan di kala kesedihan dan kerinduan itu datang. Hal pertama yang kuanggap tabu adalah ketika salah satu dari mereka mengungkapkan, “Kamu kan punya bapak. Minta saja ke bapakmu.” Aku tertegun diam, bukan karena marah atau sedih tapi sesuatu yang lain ada di dalam pikiran dan hatiku bangkit mempertanyakan kembali kisahku pada diri sendiri. Ketika aku ditanya demikian jujur aku tak bisa menjawab, kalaupun aku bisa menjawab akan kujawab bagaimana, jika aku jawab tidak karena aku tak punya bapak, tentu aku punya, mengatakan ya lalu bapakku yang mana yang bisa kumintai tolong.

Seketika itu aku mulai bertanya terngiang-ngiang terus dalam benak, mengapa aku harus seperti ini, dan mengapa hidupku tak seperti yang lainnya. Pertanyaan itu terus ada hingga saat ini di benakku, karena aku belum mengerti apa sebenarnya tujuanku hidupku ini. Kembali kita lihat tafsiran ayat nya yang berbicara tentang (Ujian), “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286). Disinilah kita harus mulai bermuhassabah.

Ternyata itu semua belum berakhir kawan, aku mendapat masalah sejak aku mulai dewasa karna meninggikan watakku tersebut, ya tak hanya sekali bahkan bekali-kali. Awalnya adalah karena kemarahanku pada mama yang menurutku mereka berlebihan ketika menasihatiku, dan memperbincangkanku di belakang bersama orang lain di luaran sana, aku kesal marah da kecewa karena apa.

Karena aku merasa dipojokkan dari pembicaraan mereka, menjelekkanku kalau aku mungkin kecewa dan marah karna memikirkan pendapat orang lain nantinya terhadapku lupakan saja hal itu, sungguh aku tak begitu perduli tanggapan orang lain padaku.

Tuhan. Kenapa kau ranggut semua kebahagiaan ini, kenapa kau hancurkan mimpi-mimpiku, Aku kecewa bukan kepada takdirMu, tapi aku kecewa dan marah karena mama telah menghancurkan kepercayaanku selama ini, dia yang kuberikan kepercayaan paling besar, nyatanya menohok diriku seperti itu. Aku mulai berpikir saat itu, mengapa aku harus menjadi pemenang dulu untuk bisa membuahi sel telur ibuku, dan mengapa aku harus terlahir di tengah keluarga tak harmonis sepeti ini? Dimana kebahagiaan dan keadilan yang katanya kau janjikan dalam AsmaMu yang begitu indah. Apakah kau bisa dan tuli ataukah sifat keserakahan itu kau hadirkan dalam diriku sebagai ujian yang Kau berikan untuk selalu mengingat-Mu.

Tuhan, aku iri pada yang lain dan aku mulai berandai-andai kalau saja ibuku bersamaku mungkin rasa penyesalan mengecewakan dan sesakit ini yang aku alami. Mama membicarakanku seolah aku adalah orang lain di hidupnya, seolah aku adalah parasit dan seolah aku hanya bisa menyusahkan saja baginya. Ya seperti itu aku menyimpulkan perkataan mama, katanya engkau menjanjikan bahwa surga ada dibawah telapak kakinya, Tuhan, siapakah yang harus kita Salahkan dalam Lika liku kehidupan seperti ini. Dan siapakah yang tidak akan pernah merasakan kasih sayang itu. Semuanya aku percaya kepada mu sebagai tempat memohon dan meminta karna aku yakin semuanya akan kembali kepadamu sebab kaulah pemilik skenario itu .

Penulis: Taufikurrahman 

(Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga  HMI Cabang Gowa Raya)