Jakarta, Edarinfo.com– Anak muda yang secara sosial dan psikologis sudah mapan untuk memasuki pernikahan, nyatanya cukup banyak yang sengaja menunda atau memilih tidak menikah. Hal ini mengakibatkan angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan setiap tahunnya.
Bagi mereka pernikahan kini bukan lagi prioritas utama saat hidup sudah mapan. Jalan hidup yang biasanya belajar/kuliah, bekerja, lalu menikah, dan mempunyai anak, semakin jauh dari bayangan atau pikiran mereka. Mereka menilai pemenuhan hidup maupun kebahagiaan hidup tak lagi diukur dari punya pasangan hidup dan anak atau keluarga inti.
Melansir dari kompas.id Dwi Hastuti (36), seorang general manager di lembaga pelatihan bagi guru di Jakarta, saat ini sudah tidak terpikir harus segera menikah. Bagi dia, menikah bukan lagi prioritas. Juga status tidak menikah bukan lagi menjadi beban karena ini adalah pilihan hidupnya.
“Kalau dulu memang ada cita-cita harus menikah di usia 25 tahun dan punya anak. Tetapi pas bekerja, fokus jadi berubah. Apalagi dunia pekerjaan saya yang terkait dunia pendidikan, benar-benar jadi passion saya. Saya terlalu menikmati pekerjaan yang membawa saya keliling berbagai daerah, bertemu dengan banyak guru dan anak-anak,” kata Dwi.
Ditambah lagi di kantornya, ada enam anak muda seusia dirinya yang juga belum menikah. Bahkan, punya pandangan yang sama, tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas hidup, meski usia hampir memasuki kepala empat. Mereka asyik menikmati hidup, bekerja, bergaul, dan menjalani hidup yang mereka yakini, tanpa terlalu ambil pusing dengan komentar-komentar dari sekeliling karena belum juga menikah.
“Bukannya tidak berpacaran ya. Tapi tidak terlalu mengejar ke komitmen pernikahan gitu. Kalau ketemu yang pas, cowok yang punya nilai-nilai sama dan mendukung saya berkarir dengan bebas seperti yang saya jalani saat ini, ya bisa saja sih kemudian menikah,” ujar Dwi tersenyum.
Sebagai perempuan, Dwi tidak merasa terbebani dengan komentar bahwa dia nanti akan susah punya anak jika semakin tua menikah. Meskipun orangtua atau keluarga tetap berharap Dwi menikah, dia tetap meyakini menikah atau tidak adalah pilihan dirinya, bukan karena desakan keluarga.
“Kalau ditanya ibu, ya saya bilang saja, Allah belum kasih jodoh. Tanya sama Allah kenapa belum ada jodohnya. Biasanya ibu tidak berkomentar lagi,” ujar Dwi tertawa.
Dengan statusnya sebagai lajang, Dwi merasa leluasa untuk menjalani pekerjaan yang bukan lagi sekedar untuk mengejar karier. Baginya, pekerjaan melatih para guru, bepergian ke banyak sekolah, menyaksikan perubahan mutu sekolah yang biasa-biasa saja jadi meningkat, menyaksikan kebahagiaan para siswa yang senang belajar dan pergi ke sekolah, memberi kebahagiaan yang membuatnya tidak lagi memikirkan tentang menikah.
“Semakin ke sini, saya semakin tidak memikirkan pernikahan. Saya pun tidak mengkhawatirkan masa depan, semuanya saya biarkan mengalir. Saya merasa tidak kesepian dengan hidup meskipun belum menikah di usia sekarang,” kata Dwi.
Dipandang bukan prioritas
Hal senada disampaikan Randy (36), seorang spesialis Education for Sustainable Development (ESD) di Jakarta, yang sebenarnya terbilang mapan. Dia tinggal di apartemen, aktif ikut komunitas yoga, nge-gym, hingga kongkow di kafe.
Dia juga selalu menyempatkan diri untuk healing satu bulan sekali, minimal ke Bandung atau Sukabumi. Setiap tahun selalu punya agenda untuk travelling di dalam maupun di luar negeri.
Randy dengan tegas mengakui pernikahan bukan prioritas dirinya. Bahkan, berkomitmen dalam suatu pernikahan bukan menjadi pilihannya.
“Aku tuh memang punya pikiran yang berbeda. Bagiku menjalin hubungan. Tidak harus dengan komitmen pernikahan ya. Sebab, pernikahan itu kompleks. Hubungan dengan orangtua dan keluarga sendiri saja sudah kompleks, ditambah lagi dengan mertua,” ujar Randy.
Randy mengaku dirinya berpikiran terbuka terhadap hubungan. Berbagai buku bacaan dan informasi tentang tren kehidupan saat ini, membentuk pola pikir yang berbeda antara dirinya dan keluarganya.
Randy terbuka menjalani hubungan tanpa pernikahan, bahkan tidak ingin punya anak alias child free. Dia merasa kasihan membayangkan anak yang akan hidup di tengah dunia yang semakin tidak pasti, mulai dari dampak perubahan iklim dan perubahan dunia yang rasanya semakin berat ke depannya.
Dia pun tak ingin lagi menambah beban planet bumi yang sudah punya delapan miliar penduduk.
“Aku berpikir, kalau punya anak, akan struggling ya. Soalnya kita tidak tahu dunia ke depan gimana. Jadi, untuk apa menikah? Aku terbuka saja punya pasangan yang hidup bareng, tidak dengan menikah, dan child free. Tapi sejujurnya, dengan hidup sendiri, aku lebih bahagia,” ujar Randy.
Pandangan Randy tentang pernikahan tentunya tidak mulus diterima keluarganya dan lingkungan di sekitarnya. Saat lulus SMA, Randy sengaja untuk mencari tempat kuliah yang menuntut dia keluar dari kampung halamannya, di suatu daerah di Jawa Timur. Saat bekerja pun, dia memilih ke Jakarta karena yakin merasa nyaman dengan pilihan hidupnya.
“Aku tuh jarang pulang kampung. Paling, Lebaran, itu pun sebentar. Aku lebih nyaman di Jakarta dan menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas lainnya. Di sini, urusan private orang dihargai, mau menikah atau enggak, mau beragama atau enggak, ya lingkunganku gak rese,” kata Randy yang lulusan S2 di salah satu universitas negeri di Yogyakarta.
Randy menikmati hidupnya dan pencapaiannya saat ini dan merasa bebas untuk melakukan apa saja yang diinginkan, tanpa terkendala urusan dengan pasangan maupun anak-anak. Bagi Randy, hidup seperti ini tidak akan dilepaskannya, dan dia siap untuk mempersiapkan masa tuanya seorang diri.
Pilihan Dwi dan Randy sebagai anak muda yang tidak bergegas menikah, memengaruhi jumlah pernikahan di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 2018 sampai 2023. Tahun 2018, angka pernikahan tercatat 2,01 juta pasangan dan turun menjadi 1,96 juta pasangan pada 2019.
Setelah itu, angka pernikahan kembali turun pada 2020, yakni 1,78 juta pasangan, disusul tahun 2021 dengan 1,74 juta perkawinan dan 2022 yang mencapai 1,70 juta pasangan. Angka perkawinan di Indonesia kembali turun hingga menjadi 1,58 juta pasangan pada 2023 atau mengalami penurunan sekitar 128.000 pasangan dibandingkan tahun sebelumnya.(*)